Breaking News

Prabowo Subianto dan Pengasingannya ke Yordania: Babak Kelam yang Mengubah Sejarah

Prabowo Subianto 

Dirgantaraonline
- Pada tahun 1998, Indonesia mengalami periode paling bergejolak dalam sejarah modernnya. Reformasi mengguncang tatanan politik, Presiden Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade dipaksa turun, dan militer—sebagai pilar utama kekuasaan Orde Baru—menghadapi tekanan besar. Dalam pusaran peristiwa ini, nama Prabowo Subianto muncul sebagai salah satu tokoh yang paling kontroversial.

Prabowo, seorang jenderal berbakat dengan latar belakang militer yang gemilang, menghadapi pukulan besar dalam kariernya ketika ia diberhentikan dari dinas militer. Keputusan ini bukan hanya mengakhiri perjalanan panjangnya di dunia kemiliteran, tetapi juga memaksanya mengambil langkah dramatis: mengasingkan diri ke Yordania.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa seorang jenderal yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan tiba-tiba tersingkir? Bagaimana kehidupan Prabowo di Yordania? Artikel ini akan menggali kisah mendalam tentang pengasingannya, kontroversi yang melingkupinya, dan bagaimana peristiwa ini membentuk kembali jalur politiknya di kemudian hari.

Latar Belakang: Prabowo dan Reformasi 1998

Prabowo Subianto adalah sosok militer yang menonjol sejak muda. Sebagai menantu Presiden Soeharto dan perwira berbakat di Komando Pasukan Khusus (Kopassus), ia menikmati karier yang melejit dengan cepat. Dalam berbagai operasi militer, termasuk di Timor Timur, namanya dikenal sebagai komandan yang tegas dan ambisius.

Namun, ketika krisis moneter 1997 melanda Indonesia dan gelombang demonstrasi mahasiswa semakin besar pada 1998, situasi politik negara mulai berubah drastis. Tuntutan reformasi menggema di seluruh negeri, mendesak Soeharto untuk turun dari tampuk kekuasaan.

Di tengah gejolak ini, Prabowo berada dalam posisi yang sulit. Sebagai bagian dari elite militer, ia berada di persimpangan antara kesetiaan kepada Orde Baru dan tuntutan perubahan yang digaungkan rakyat. Saat itu, ketegangan antara Prabowo dan Panglima ABRI (sekarang TNI) Jenderal Wiranto semakin meruncing.

Kontroversi Mei 1998 dan Pemberhentian Prabowo

Salah satu peristiwa paling kontroversial dalam karier Prabowo adalah dugaan keterlibatannya dalam penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997–1998. Sejumlah aktivis hilang secara misterius, dan beberapa di antaranya mengaku mengalami penyiksaan setelah kemudian dibebaskan.

Pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie, posisi Prabowo semakin terancam. Ia dituduh bertanggung jawab atas operasi penculikan tersebut, yang menempatkannya dalam sorotan negatif di mata masyarakat sipil dan juga rekan-rekan militer.

Situasi semakin memuncak ketika ia dipanggil oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP), sebuah badan yang bertugas menilai etika dan perilaku perwira tinggi. DKP menyatakan bahwa Prabowo telah melakukan pelanggaran dalam kapasitasnya sebagai komandan, dan sebagai konsekuensinya, ia diberhentikan dari dinas militer.

Keputusan ini menjadi pukulan telak. Seorang jenderal yang sebelumnya memiliki pengaruh besar dalam tubuh TNI kini kehilangan jabatannya, ditinggalkan oleh struktur kekuasaan yang dulu mendukungnya.

Mengasingkan Diri ke Yordania: Pelarian atau Strategi?

Setelah diberhentikan dari militer, Prabowo memilih untuk meninggalkan Indonesia dan menetap di Yordania. Langkah ini menimbulkan berbagai spekulasi. Beberapa pihak melihatnya sebagai bentuk "pelarian" dari tekanan politik dan sosial yang dihadapinya di tanah air.

Namun, ada juga yang menilai pengasingan ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Yordania bukanlah tempat asing bagi Prabowo. Ia memiliki hubungan dekat dengan Raja Abdullah II, yang kala itu baru saja naik takhta menggantikan Raja Hussein. Hubungan ini memungkinkannya mendapatkan perlindungan dan ruang untuk menyusun strategi baru.

Selama berada di Yordania, Prabowo dikabarkan tetap aktif dalam dunia bisnis dan memperluas jaringan internasionalnya. Ia membangun relasi dengan berbagai pihak di Timur Tengah, yang kelak menjadi salah satu faktor penting dalam kebangkitannya kembali di Indonesia.

Kembali ke Indonesia: Dari Pengasingan ke Panggung Politik

Setelah beberapa tahun di luar negeri, Prabowo akhirnya kembali ke Indonesia pada awal 2000-an. Namun, ia tidak lagi berstatus sebagai prajurit TNI. Sebaliknya, ia mulai membangun karier politiknya.

Ia mendirikan Partai Gerindra pada tahun 2008 dan mulai aktif dalam berbagai kontestasi politik. Dari calon wakil presiden pada 2009, calon presiden pada 2014 dan 2019, hingga akhirnya terpilih sebagai Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Joko Widodo pada 2019.

Kembali ke panggung kekuasaan setelah sempat tersingkir adalah bukti bagaimana Prabowo berhasil merancang strategi politik yang matang. Peristiwa tahun 1998 yang nyaris mengakhiri kariernya justru menjadi titik balik yang membentuknya menjadi tokoh politik yang lebih kuat.

Pelajaran dari Pengasingan

Kisah pengasingan Prabowo Subianto ke Yordania bukan hanya sekadar episode kelam dalam hidupnya, tetapi juga titik balik yang menentukan arah masa depannya. Dari seorang jenderal yang tersingkir akibat gejolak reformasi, ia berhasil bangkit sebagai politisi yang terus bertarung dalam pemilihan presiden.

Perjalanan ini mengajarkan bahwa politik adalah permainan panjang yang membutuhkan strategi, kesabaran, dan kemampuan membangun kembali kekuatan dari nol. Prabowo, dengan segala kontroversinya, adalah contoh nyata bagaimana seorang tokoh yang sempat jatuh dapat kembali berdiri dan memainkan peran besar dalam sejarah bangsanya. (*)

Penulis: Osmond