Skandal Korupsi di Balik Eksekusi Uang Korban Robot Trading: Jaksa dan Pengacara Diduga Tilap Rp 23 Miliar
Jumpa pers pengungkapan kasus gratifikasi atau suap uang oknum jaksa di Kejati Jakarta, Kamis (27/2/2025).
D'On, Jakarta – Kasus dugaan suap dan gratifikasi kembali mengguncang dunia penegakan hukum di Indonesia. Seorang jaksa penuntut umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Azam Akhmad Akhsya, bersama dua pengacara, diduga menggelapkan uang sebesar Rp 23 miliar yang seharusnya dikembalikan kepada korban investasi bodong robot trading Fahrenheit.
Kasus ini tidak hanya mengungkap praktik korupsi di tubuh aparat penegak hukum, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang transparansi eksekusi pengembalian dana korban investasi ilegal.
Aliran Dana Mencurigakan: Uang Korban Masuk ke Rekening Pribadi dan Pegawai Honorer
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jakarta, Patris Yusrian Jaya, mengungkapkan bahwa uang yang diduga ditilap oleh Azam tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga mengalir ke sejumlah pihak lain, termasuk ke pegawai honorer di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
"Oleh saudara AZ [Azam], uang ini sudah digunakan untuk kepentingan pribadi, membeli aset, dan sebagian lagi masuk di rekening istri," ungkap Patris dalam konferensi pers di Kejati Jakarta pada Kamis (27/2) malam.
Lebih jauh, penyidik kini tengah menelusuri kemungkinan aliran dana tersebut ke oknum jaksa lainnya. Jika terbukti, kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap jaringan lebih luas dalam korupsi di kejaksaan.
"Dari pemeriksaan tim penyidik, uang yang didapat oleh JPU AZ ini juga mengalir ke beberapa oknum jaksa yang sekarang sedang ditelusuri untuk membuktikan keterangan-keterangan itu," tambah Patris.
Modus Operandi: Dari Pengembalian Barang Bukti ke Manipulasi Uang
Kasus ini bermula pada 23 Desember 2023, ketika Kejaksaan Negeri Jakarta Barat melakukan eksekusi pengembalian barang bukti berupa uang yang dikumpulkan dari investasi bodong robot trading Fahrenheit. Terpidana dalam kasus ini, Hendry Susanto, diwajibkan mengembalikan total dana korban senilai Rp 61,4 miliar.
Sebagai JPU yang bertugas dalam eksekusi ini, Azam berkolaborasi dengan dua pengacara korban yang berinisial OS dan BG. Alih-alih mengembalikan seluruh uang kepada para korban, ketiga tersangka justru menyusun skenario untuk menilap sebagian dana.
Bagaimana Uang Rp 23 Miliar Itu Raib?
Skema penggelapan ini dilakukan dengan membagi pengembalian uang ke dalam dua jalur, yaitu melalui dua pengacara yang terlibat. Berikut rinciannya:
- Pengacara OS menerima uang sebesar Rp 23,2 miliar. Dari jumlah ini, Rp 17 miliar langsung dibagi dengan Azam, di mana masing-masing menerima Rp 8,5 miliar.
- Pengacara BG memegang uang sebesar Rp 38,2 miliar, tetapi kemudian memanipulasi Rp 6 miliar untuk dibagi dengan Azam, di mana Azam mendapatkan Rp 3 miliar.
Dengan demikian, Azam mengantongi total Rp 11,5 miliar, sedangkan pengacara OS dan BG juga mendapatkan bagian mereka. Total uang yang digelapkan mencapai Rp 23 miliar, yang seharusnya menjadi hak korban investasi bodong.
Dampak dan Langkah Hukum: Azam Jadi Tersangka, OS Masih Mangkir
Akibat perbuatannya, Azam yang kini menjabat sebagai Plt Kasi Intel Kejaksaan Negeri Landak, dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 Jo Pasal 11 atau Pasal 12B UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ini merupakan pasal yang mengatur tindak pidana korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi.
Sementara itu, pengacara BG dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a Jo Pasal 5 Ayat 1 huruf b Jo Pasal 13 UU Tipikor, yang juga berkaitan dengan suap dan gratifikasi dalam proses hukum.
Namun, pengacara OS masih belum ditetapkan sebagai tersangka karena terus mangkir dari pemeriksaan. Penyidik pun mengimbau agar OS segera hadir untuk memberikan keterangan.
Skandal yang Mencoreng Institusi Hukum
Kasus ini semakin memperburuk citra aparat penegak hukum di Indonesia. Kejaksaan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum justru terlibat dalam skandal korupsi. Dengan jumlah korban robot trading yang mencapai ribuan orang, penggelapan ini menjadi pukulan telak bagi mereka yang berharap mendapatkan kembali haknya.
Penyidik kini terus menelusuri ke mana saja aliran uang ini mengalir dan apakah ada pihak lain yang turut terlibat. Jika terbukti ada lebih banyak jaksa atau pejabat kejaksaan yang menerima bagian dari dana ini, maka kasus ini bisa berkembang menjadi skandal korupsi besar-besaran yang mengguncang institusi hukum di Indonesia.
Pihak kejaksaan pun dituntut untuk transparan dalam menangani kasus ini, mengingat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum terus menurun akibat berbagai kasus serupa.
Akankah kasus ini terungkap hingga ke akar-akarnya? Ataukah ini hanya permukaan dari praktik korupsi yang lebih besar dalam sistem hukum Indonesia? Waktu akan menjawabnya.
(Mond)
#Hukum #Jaksa #Pengacara