Tragedi di Balik Pagar Pesantren: Kisah Pilu Santriwati DA dan 125 Cambukan Rotan
Ilustrasi
D'On, Pontianak – Malam itu, di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Kubu Raya, suasana seharusnya diwarnai lantunan doa dan gemuruh ayat-ayat suci. Namun, bagi DA (17), santriwati yang tengah menempuh ilmu agama, malam itu berubah menjadi mimpi buruk. Di balik dinding asrama yang semestinya menjadi tempat perlindungan, suara rotan yang mencambuk tubuhnya menggema, memecah kesunyian.
DA tidak pernah menyangka bahwa kesalahan yang ia lakukan yang menurut pihak pesantren adalah pelanggaran aturan akan berujung pada siksaan fisik yang begitu kejam. Tubuhnya yang ringkih dipaksa menahan 125 kali cambukan rotan sepanjang 1,5 meter. Punggung, tangan, dan pahanya menjadi sasaran kemarahan pengasuh pesantren. Setiap pukulan yang mendarat bukan hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma mendalam yang sulit terhapus.
Dari Kekerasan di Pesantren hingga Meja Hijau
Peristiwa memilukan ini terjadi pada Jumat, 30 Agustus 2024. Namun, dalam ketakutan dan tekanan, keluarga DA baru berani melaporkannya ke pihak kepolisian pada 17 September 2024. Sejak saat itu, roda hukum mulai berputar. Penyidik dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kubu Raya bekerja keras mengungkap kebenaran. Setelah serangkaian penyelidikan intensif, Kejaksaan Negeri Mempawah akhirnya menyatakan berkas perkara lengkap (P21), membuka jalan bagi proses peradilan di Pengadilan Negeri Mempawah.
Kasat Reskrim Polres Kubu Raya, IPTU Hafiz Febrandani, melalui Kasubsi Penmas, Aiptu Ade, mengonfirmasi bahwa kasus ini telah diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku. "Kami memastikan bahwa penyelidikan dilakukan dengan transparan dan berkeadilan. Kami juga bekerja sama dengan Dinas Sosial Kabupaten Kubu Raya serta Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban," ujar Aiptu Ade.
Pendampingan Psikologis dan Luka yang Sulit Pulih
DA mungkin telah keluar dari lingkungan pesantren itu, tetapi bekas luka yang ditinggalkan—baik di tubuh maupun jiwanya—tidak akan mudah hilang. Trauma akibat penganiayaan ini menjadi bayang-bayang yang terus menghantuinya. PPA Polres Kubu Raya, bersama Dinas Sosial dan KPAD, kini berusaha memberikan pendampingan psikologis agar DA bisa kembali menjalani hidupnya dengan lebih tenang.
Kasus ini menjadi potret kelam dari kekerasan yang masih terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama. Pondok pesantren, yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran dan pembentukan karakter, justru berubah menjadi tempat penyiksaan bagi seorang santriwati.
Ke Mana Arah Keadilan?
Kini, publik menanti keputusan pengadilan. Akankah kasus ini menjadi titik balik dalam upaya memberantas kekerasan di lingkungan pesantren? Ataukah, seperti banyak kasus serupa, akan menguap begitu saja tanpa keadilan yang nyata bagi korban?
Satu hal yang pasti: 125 cambukan rotan itu bukan sekadar angka. Itu adalah derita yang harus diingat, agar tak ada lagi DA-DA lain yang menjadi korban di masa depan.
(Mond)
#Kekerasan #PondokPesantren #Cambukan #SantriwatiDicambuk #Hukum