Breaking News

AKBP Fajar: Nafsu Bejat di Balik Modus Siasat Mahasiswa di Kupang

Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman. (Instagram/@kasi_humaspolresngada)

D'On, Kupang, NTT
– Sebuah skandal kelam mengguncang Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri berusia 20 tahun, yang dikenal dengan inisial FWLS alias Fani, kini mendekam di balik jeruji besi setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Penetapan status tersangka terhadap Fani dilakukan setelah penyidik Polda NTT menggelar perkara pada Jumat, 21 Maret 2025. Tak hanya itu, kepolisian juga langsung mengambil tindakan tegas dengan menahannya di Rumah Tahanan Polda NTT.

“Ditetapkan sebagai tersangka. Status penangkapan dan langsung ditahan,” tegas Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, dalam konferensi pers di Mapolda NTT pada Selasa, 25 Maret 2025.

Namun, siapa sebenarnya Fani? Bagaimana seorang mahasiswi bisa terjerat dalam lingkaran kejahatan yang begitu kelam?

Perkenalan Lewat Michat: Awal Mula Jaringan Gelap

Kisah tragis ini bermula pada 11 Juni 2024, ketika Fani pertama kali mengenal sosok AKBP Fajar, mantan Kapolres Ngada, melalui aplikasi Michat. Aplikasi ini kerap digunakan sebagai sarana komunikasi yang tak hanya sebatas percakapan biasa, tetapi juga sering menjadi ruang gelap bagi praktik prostitusi daring.

Fani, yang kala itu masih menjalani kehidupan sebagai mahasiswi, rupanya terjebak dalam jaringan yang lebih besar. Setelah berkenalan dengan AKBP Fajar, ia diberi tugas yang sungguh mencengangkan—mencarikan korban anak di bawah umur untuk melayani sang perwira polisi.

Tak butuh waktu lama, Fani mulai menjalankan tugasnya dengan cermat. Dengan gaya persuasifnya, ia mendekati calon korban, membangun kepercayaan, dan memastikan bahwa mereka tidak merasa curiga.

Modus Operandi: Rayuan, Makan Bersama, hingga Hotel Kristal Kupang

Dalam melancarkan aksinya, Fani memiliki cara tersendiri untuk menjebak korban. Ia tidak serta-merta membawa mereka langsung ke hotel, tetapi terlebih dahulu mengajak mereka jalan-jalan dan makan bersama. Taktik ini membuat korban merasa nyaman dan tidak menyadari niat jahat yang sebenarnya.

Setelah bujuk rayuannya berhasil, Fani membawa korban ke Hotel Kristal Kupang—tempat di mana AKBP Fajar sudah menunggu. Di hotel tersebut, Fani meninggalkan korban di dalam kamar bersama Fajar.

Saat korban akhirnya tertidur dalam kondisi tidak berdaya, petaka itu terjadi. AKBP Fajar melancarkan aksi bejatnya, sementara Fani menunggu di luar kamar hotel, seolah sudah paham bahwa perannya telah selesai.

Sebagai imbalan atas "jasanya," Fani menerima Rp3 juta dari Fajar. Sedangkan korban, yang seharusnya dilindungi, hanya diberikan uang sebesar Rp100 ribu—sebuah angka yang ironis mengingat trauma yang harus mereka tanggung seumur hidup.

Namun, kisah tragis ini tak berhenti di situ. Setelah semua selesai, Fani kembali mengantarkan korban pulang. Namun, sebelum meninggalkan mereka, ia memastikan bahwa korban tetap bungkam. “Jangan pernah menceritakan kejadian ini kepada siapa pun,” begitu kira-kira peringatan yang ia sampaikan.

Jeratan Hukum: Hukuman Berat Menanti Fani

Akhirnya, perbuatan Fani terbongkar. Bukti dan kesaksian korban menguatkan dugaan keterlibatannya dalam jaringan kejahatan seksual ini. Kini, ia harus menghadapi jerat hukum yang berat atas perbuatannya.

Fani dijerat dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang yang berlaku, antara lain:

  1. Pasal 6 huruf C, Pasal 14 Ayat (1) huruf a dan b, serta Pasal 15 huruf c, e, dan g dari UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak.
  2. Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
  3. Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jeratan pasal ini bukan hanya menegaskan peran Fani dalam kejahatan ini, tetapi juga menunjukkan betapa seriusnya kasus yang ia hadapi.

Pesan Keras: Ancaman Nyata di Balik Dunia Maya

Kasus ini menjadi alarm bagi banyak pihak, terutama bagi generasi muda yang semakin akrab dengan dunia maya. Aplikasi komunikasi yang awalnya tampak biasa saja, bisa menjadi gerbang menuju kejahatan yang lebih besar.

Kisah Fani menjadi bukti bahwa tak semua yang terlihat ramah dan menggiurkan di dunia maya benar-benar aman. Pergaulan di dunia digital, jika tidak diwaspadai, bisa membawa seseorang ke dalam pusaran kelam yang sulit untuk dilepaskan.

Sementara itu, kasus ini masih terus dikembangkan oleh pihak kepolisian. Apakah ada korban lain? Apakah Fani hanya satu dari sekian banyak ‘perekrut’ dalam jaringan ini? Semua pertanyaan itu masih menunggu jawaban.

Yang pasti, kasus ini adalah potret nyata bagaimana kekuasaan, teknologi, dan manipulasi bisa berujung pada tragedi yang menghancurkan banyak pihak.

(Mond)

#KekerasanSeksual #KapolresNgada #Kriminal #Polri #PelecehanSeksual #AKBPFajarWidyadharmaLukman