Badai Etik di Senayan: Nasib Ni Luh Djelantik Menunggu Titik Akhir
Anggota DPD RI Dapil Bali, Ni Luh Djelantik, didampingi dengan kuasa hukumnya, Daniar Trisasongko, menggelar konferensi pers usai proses verifikasi oleh Badan Kehormatan DPD, Jumat (07/03/2025).
D'On, Jakarta - Di tengah riuhnya dinamika politik tanah air, nama Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Bali, kini menjadi sorotan. Ia harus menghadapi penyelidikan dan verifikasi faktual oleh Badan Kehormatan (BK) DPD RI setelah dilaporkan oleh dua pengacara, Axl Mattew Situmorang dan Togar Situmorang. Tuduhan? Dugaan pelanggaran kode etik akibat penggunaan frasa "lebian munyi" dalam tanggapannya terhadap isu kebijakan taksi online di Bali.
Namun, di luar ruang sidang dan proses hukum yang berjalan, ada realitas lain yang tak bisa diabaikan. Dukungan masyarakat Bali, terutama dari Forum Driver Pariwisata, mengalir deras. Ratusan orang berkumpul di Kantor Perwakilan DPD Bali, bukan sekadar menyaksikan, melainkan berdiri tegak sebagai benteng moral bagi Ni Luh Djelantik. Bagi mereka, Ni Luh adalah suara yang lantang membela kepentingan daerah mereka.
Dari Kata-kata ke Gugatan: Bagaimana Semua Bermula?
Akar persoalan ini berawal dari perdebatan seputar kebijakan yang mewajibkan pengemudi taksi online memiliki KTP Bali. Togar Situmorang, salah satu pelapor, mengemukakan pendapatnya mengenai regulasi tersebut. Ni Luh Djelantik, dengan gaya khasnya yang blak-blakan, merespons melalui unggahan di media sosial. Namun, pemilihan kata dalam unggahan itulah yang akhirnya menyalakan api kontroversi.
Kata "lebian munyi," yang dalam bahasa Bali berarti "terlalu banyak bicara," dinilai oleh Togar sebagai penghinaan terhadap dirinya. Sementara Axl Mattew Situmorang menilai bahwa sebagai seorang senator, Ni Luh seharusnya lebih bijak dalam menyampaikan pendapatnya. Ia berpendapat bahwa tindakan Ni Luh bukan sekadar kritik, melainkan upaya mendiskreditkan dan mempermalukan Togar secara publik.
"Kami tidak mempermasalahkan subtansi perdebatan soal regulasi KTP. Yang kami laporkan adalah cara penyampaian Ibu Ni Luh, yang menurut kami tidak pantas bagi seorang anggota DPD," ujar Axl dalam keterangannya, Jumat (7/3/2025).
Laporan tersebut merujuk pada Pasal 5 Peraturan DPD RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kode Etik. Aturan ini menekankan bahwa setiap anggota DPD harus bersikap terbuka dalam merespons aspirasi masyarakat tanpa merendahkan pihak lain.
Drama Verifikasi Faktual: Ni Luh Djelantik di Hadapan BK DPD
Jumat pagi, 7 Maret 2025, pukul 10.20 WITA, suasana di Kantor Perwakilan DPD Bali terasa tegang namun tetap terkendali. Proses verifikasi faktual terhadap Ni Luh Djelantik dimulai, dilakukan secara tertutup oleh 16 anggota BK DPD. Ketua BK DPD, Ismeth Abdullah, memimpin jalannya proses tersebut.
Ni Luh datang dengan didampingi kuasa hukumnya, Daniar Trisasongko dari LBH GP Ansor Bali. Di dalam ruangan, ia menjelaskan kronologi versinya. Ia menegaskan bahwa tidak ada niat untuk menyerang secara pribadi.
"Kami berbicara di tanah kelahiran kami sendiri, menggunakan bahasa sehari-hari. Tidak ada maksud menyerang seseorang," ujar Ni Luh dengan suara tegas.
Lebih jauh, ia menilai bahwa laporan yang diajukan sudah melenceng dari substansi awal. Alih-alih berfokus pada kebijakan transportasi online di Bali, kini pembahasan justru berpusat pada pemilihan kata dalam unggahannya.
"Jawaban saya tetap sama. Tidak ada unsur ras, suku, atau agama yang diserang. Ini adalah perjuangan untuk Bali," tambahnya.
Di luar ruang verifikasi, dukungan masyarakat tetap bergema. Wakil Koordinator Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali, Gustu Kompyang, menegaskan bahwa Ni Luh adalah figur yang selalu menyuarakan kepentingan rakyat Bali.
"Terlepas dari cara Mbok Ni Luh berbicara, entah halus atau keras, yang kami lihat adalah perjuangannya," ujar Gustu di tengah kerumunan massa yang membawa spanduk dukungan, Jumat (7/3/2025).
Putusan di Tangan BK DPD: Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Selesai menjalani verifikasi, Ni Luh menyerahkan segala keputusan kepada BK DPD. Ketua BK, Ismeth Abdullah, memastikan bahwa seluruh informasi yang diperoleh akan dibawa ke Senayan untuk dirumuskan sebelum sidang paripurna pada 13 Maret 2025.
"Kami mendapatkan informasi yang cukup dari Ibu Ni Luh. Proses ini berjalan lancar, tidak ada ketegangan. Kita doakan agar semuanya segera selesai," ujar Ismeth.
Yang menarik, meski proses hukum berjalan, BK DPD tak serta-merta mengeluarkan surat peringatan kepada Ni Luh. Ini mengindikasikan bahwa keputusan akhir masih bisa mengarah ke berbagai kemungkinan.
Kini, semua mata tertuju pada sidang paripurna mendatang. Apakah Ni Luh Djelantik akan dinyatakan melanggar kode etik? Ataukah ia akan keluar dari pusaran ini dengan tetap berdiri tegak sebagai wakil rakyat yang vokal?
Yang jelas, kasus ini bukan sekadar soal etika. Ini adalah pertarungan antara kebebasan berekspresi, sensitivitas sosial, dan politik di era digital. Sebuah drama politik yang akan terus bergulir, dengan Bali sebagai panggung utamanya.
(Mond/Tirto)
#NiLuhDjelantik #DPDRI #Bali