Basuluak: Menepi dari Dunia, Larut dalam Zikir
Ilustrasi basuluak. FOTO/iStockphoto
D'On, Sumatera Barat - Di bulan suci Ramadhan, ada satu tradisi spiritual yang terus lestari di Minangkabau, terutama di kalangan pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Tradisi itu adalah basuluak, sebuah ritual pengasingan diri yang tidak sekadar menjauhkan fisik dari dunia luar, tetapi juga membawa jiwa pada perjalanan panjang menuju pencerahan spiritual.
Basuluak bukan sekadar ritus keagamaan, melainkan sebuah riyadhah—latihan batin yang bertujuan menaklukkan hawa nafsu, menyucikan hati dari belenggu duniawi, dan meraih ketenangan sejati. Dalam kearifan Minangkabau, basuluak adalah cerminan dari nilai-nilai luhur yang mengajarkan pentingnya introspeksi dan kendali diri. Bagi para salik—sebutan bagi mereka yang menjalani basuluak—ritual ini adalah jalan menuju maqam ihsan, kondisi di mana seseorang merasa selalu berada dalam pengawasan Allah dalam setiap gerak-geriknya.
Namun, bagaimana sesungguhnya akar dari tradisi ini? Apa yang menjadikannya begitu istimewa hingga terus bertahan di tengah modernitas yang bergerak cepat?
Basuluak: Warisan Tasawuf di Minangkabau
Dalam Islam, konsep khalwat—menyendiri demi mendekatkan diri kepada Tuhan—telah lama dikenal dalam berbagai tarekat sufi. Basuluak di Minangkabau adalah manifestasi dari ajaran ini, yang terutama berkembang dalam lingkup Tarekat Naqsyabandiyah.
Tarekat Naqsyabandiyah sendiri didirikan oleh Syekh Bahauddin Naqsyabandi pada abad ke-14 di Asia Tengah. Ajarannya menekankan keseimbangan antara zahir dan batin, mengedepankan zikir dan penyucian jiwa sebagai jalan utama menuju makrifatullah.
Di Nusantara, khususnya Sumatra, tarekat ini mulai berkembang pesat sejak abad ke-17 melalui ulama-ulama yang menimba ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Di antaranya Syekh Abdul Rauf al-Singkili (1615–1693) dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1916). Seiring waktu, tarekat ini bercabang menjadi beberapa aliran, seperti Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Naqsyabandiyah Muzhariyah, menyesuaikan dengan konteks sosial masyarakat setempat.
Di Minangkabau sendiri, puncak kejayaan tarekat ini terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, di masa kepemimpinan Syekh Sulaiman al-Zuhdi dan putranya, Syekh Ali Ridha. Mereka memiliki banyak murid dan khalifah yang menyebarkan ajaran tarekat ke berbagai pelosok Sumatra.
Bahkan, dalam penelitian yang termuat di jurnal UIN Syahada Padangsidimpuan, disebutkan bahwa para ulama Mandailing-Angkola juga berperan dalam menyebarluaskan tradisi basuluak ke wilayah-wilayah lain sejak 1923. Beberapa dari mereka, seperti Ahmad Daud Siregar dan Muktar Harahap, lebih dulu menimba ilmu di Malaysia sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan spiritual mereka ke Haramain.
Namun, meski telah melewati berbagai generasi, basuluak tetap berpegang teguh pada esensinya: menyepi, berzikir, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati.
Ritual Basuluak: Adab dan Tahapan
Bagi seorang salik, basuluak bukan sekadar mengasingkan diri, tetapi juga sebuah komitmen penuh terhadap disiplin spiritual. Ada sejumlah adab yang harus dipatuhi selama menjalani ritual ini, di antaranya:
- Meluruskan niat—semua yang dilakukan semata-mata karena Allah.
- Menjaga wudu—agar tetap dalam keadaan suci sepanjang basuluak.
- Zikir terus-menerus—mengisi hati dan pikiran dengan asma Allah.
- Mengurangi tidur—memanfaatkan waktu untuk mendekatkan diri pada-Nya.
- Tidak bersandar saat berzikir—melatih tubuh dan jiwa agar selalu siap dalam ibadah.
- Menutup diri dengan kain putih—melambangkan pemisahan dari dunia luar.
Lokasi basuluak pun harus dipilih dengan hati-hati. Biasanya, ritual ini dilakukan di surau, masjid, gua, atau tempat sunyi lainnya yang memungkinkan seseorang benar-benar menyendiri.
Durasi basuluak bervariasi, namun bentuk idealnya adalah 40 hari. Bagi pemula, tahap awalnya adalah 10 hari menjelang Ramadhan dan 30 hari penuh selama bulan suci. Sementara bagi mereka yang sudah berpengalaman, durasi bisa berkisar antara 20 hingga 30 hari.
Sepanjang waktu itu, salik akan menghabiskan harinya dengan salat berjamaah, mendengarkan ceramah mursyid, serta menjalani zikir dan puasa.
Menyatu dalam Zikir: Inti dari Basuluak
Zikir adalah jantung dari basuluak. Melalui lantunan asma Allah yang terus-menerus, seorang salik berusaha membersihkan dirinya dari segala pengaruh duniawi.
Proses zikir dalam basuluak biasanya diawali dengan:
- Istighfar, memohon ampunan kepada Allah.
- Membaca Al-Fatihah, sebagai pembuka segala doa.
- Membaca surat Al-Insyirah dan Al-Ikhlas, untuk menenangkan hati.
- Tawasul, menghadiahkan doa kepada para guru dan mursyid.
Zikir ini dilakukan dengan jumlah tertentu dalam sehari semalam, mengikuti tahapan-tahapan tertentu dalam 10 hari pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Selain zikir, beberapa salik juga melakukan puasa sunah sebagai bagian dari basuluak. Namun, ada pantangan khusus dalam konsumsi makanan. Selama menjalani ritual ini, mereka harus menghindari segala makanan yang mengandung darah dan lemak, seperti daging, ikan, dan telur. Sebagai gantinya, mereka hanya boleh mengonsumsi makanan seperti tempe, kentang, kol, dan nasi putih.
Setelah 20 hari, ada masa khusus bernama maso bajamu, di mana para salik diperbolehkan kembali mengonsumsi makanan yang sebelumnya dipantang. Namun, setelahnya, mereka harus kembali melakukan mandi dan salat taubat sebagai bentuk penyucian diri.
Menjaga Tradisi di Tengah Modernitas
Dunia yang semakin bergerak cepat membawa tantangan tersendiri bagi kelestarian basuluak. Jika dulu banyak kaum muda yang aktif dalam ritual ini, kini mayoritas pesertanya berasal dari kalangan lanjut usia.
Menurut Taufik Hidayat, dosen Fakultas Adab UIN Imam Bonjol, dahulu ada guru-guru Tarekat Naqsyabandiyah yang masih berusia 20-an tahun, membuktikan bahwa tradisi basuluak dulunya juga dijalani oleh anak muda.
Namun, meski tantangan zaman terus berubah, esensi basuluak tetap tak tergoyahkan: menjauh sejenak dari hiruk-pikuk dunia untuk menyatu dalam zikir dan kedekatan dengan Ilahi.
Di tengah modernitas yang sarat gangguan, basuluak mengajarkan bahwa ada satu hal yang tak pernah berubah—kerinduan manusia untuk menemukan ketenangan dalam naungan Tuhan.
(Mond)
#Basuluak #Tradisi #Minangkabau #TarekatNaqsyabandiyah