Breaking News

Bonus Hari Raya Ojol: Hanya Imbauan, Bukan Kewajiban, Solusi atau Jalan Buntu?

Ilustrasi Driver Ojol 

D'On, Jakarta
 – Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) mengenai Bonus Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir layanan berbasis aplikasi kembali memicu perdebatan panjang. Analis Kebijakan Transportasi, Azas Tigor Nainggolan, menilai bahwa kebijakan ini belum benar-benar menyelesaikan akar permasalahan yang selama ini menghantui para pengemudi ojol.

Menurut Azas, kebijakan ini hanya sebuah jawaban sementara terhadap tuntutan para pengemudi yang sebelumnya meminta perusahaan aplikasi untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) sebagaimana pekerja lainnya. Namun, kenyataannya, SE ini sekadar bersifat imbauan, bukan kewajiban, sehingga aplikator (perusahaan penyedia layanan aplikasi) tidak memiliki keharusan untuk mematuhinya.

Dari THR ke BHR: Perubahan Istilah yang Sarat Makna

Salah satu poin menarik dalam SE ini adalah perubahan terminologi dari Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi Bonus Hari Raya (BHR). Perubahan ini bukan sekadar permainan kata, tetapi mencerminkan kesadaran pemerintah akan keterbatasan hukumnya dalam memaksa aplikator memberikan tunjangan kepada para pengemudi ojol.

Hubungan antara pengemudi ojol dan aplikator selama ini bukanlah hubungan pekerja-majikan, melainkan hubungan kemitraan. Dalam konteks ini, pemerintah tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk mengatur atau mewajibkan pemberian THR seperti yang berlaku bagi pekerja dalam hubungan kerja formal.

"Pemerintah sadar betul bahwa mereka tidak bisa memaksa aplikator memberikan THR karena hubungan pengemudi ojol dengan perusahaan adalah mitra, bukan pekerja tetap. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan hanyalah mengimbau, bukan mewajibkan," ujar Azas.

Namun, ia menilai bahwa langkah ini hanya solusi jangka pendek yang lebih bersifat kemanusiaan ketimbang struktural. Dalam jangka panjang, persoalan yang lebih fundamental harus diselesaikan: status hukum ojek online di Indonesia.

Ketidakjelasan Hukum: Akar Masalah yang Tak Kunjung Usai

Salah satu alasan utama mengapa SE ini tidak memiliki kekuatan hukum adalah karena ojek online belum diakui dalam regulasi transportasi nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tidak memasukkan ojek sebagai moda transportasi umum yang sah.

Selain itu, perusahaan aplikasi yang menaungi para pengemudi ojol juga tidak mengakui diri mereka sebagai perusahaan transportasi, melainkan hanya sebagai penyedia layanan aplikasi. Dengan status hukum yang mengambang ini, pemerintah tidak memiliki dasar kuat untuk mengatur bisnis aplikator secara lebih ketat.

"Sampai hari ini, bisnis layanan transportasi ojek online masih berada dalam area abu-abu. Aplikator tidak dianggap sebagai perusahaan transportasi, dan para pengemudi hanya dianggap sebagai mitra. Akibatnya, pemerintah tidak bisa mewajibkan apa pun, termasuk pemberian THR atau BHR," jelas Azas.

Menurutnya, selama regulasi hukum mengenai bisnis aplikator dan status pengemudi ojol belum ditetapkan secara jelas, persoalan kesejahteraan pengemudi akan terus menjadi polemik tahunan.

Surat Edaran: Kebijakan Tanpa Kekuatan Hukum?

Penerbitan Surat Edaran Menaker NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 juga menjadi bahan perdebatan tersendiri. Ada dua permasalahan utama yang disoroti Azas:

  1. Surat Edaran (SE) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
    SE hanya berlaku di lingkungan internal instansi yang mengeluarkannya dan bukan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ini berarti, meskipun SE Menaker mengimbau aplikator untuk memberikan BHR, mereka tidak memiliki kewajiban hukum untuk melakukannya.

  2. SE ini ditujukan kepada perusahaan aplikasi, bukan instansi pemerintahan.
    Secara umum, SE biasanya ditujukan kepada lembaga atau instansi yang berada di bawah kewenangan institusi yang mengeluarkannya. Namun, dalam kasus ini, SE Menaker ditujukan kepada perusahaan swasta (aplikator), yang secara hukum tidak berada di bawah kendali langsung Kementerian Ketenagakerjaan.

"Jika SE ini hanya sebatas imbauan, lalu bagaimana pemerintah memastikan aplikator benar-benar memberikan BHR? Lagi pula, SE bukan bagian dari hierarki perundang-undangan di Indonesia, jadi kekuatan hukumnya sangat lemah," kata Azas dengan nada kritis.

Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE memang tidak masuk dalam struktur hukum yang mengikat. Dengan kata lain, perusahaan aplikasi bebas memilih apakah ingin mengikuti imbauan ini atau tidak, tanpa konsekuensi hukum apa pun.

Langkah Selanjutnya: Regulasi atau Status Quo?

Jika pemerintah ingin benar-benar menyelesaikan persoalan ini, regulasi yang lebih tegas mengenai status hukum ojek online harus segera disusun. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Mengamandemen UU LLAJ untuk memasukkan ojek online sebagai bagian dari sistem transportasi nasional.
  2. Menetapkan regulasi khusus yang mengatur bisnis aplikator dan hubungan mereka dengan pengemudi.
  3. Menentukan status hukum pengemudi ojol—apakah mereka pekerja atau mitra—agar hak dan kewajiban mereka lebih jelas.

Tanpa langkah-langkah konkret ini, polemik mengenai kesejahteraan pengemudi ojol akan terus berulang setiap tahunnya, tanpa solusi yang benar-benar menguntungkan semua pihak.

"Jika masalah ini tidak segera diatasi, ke depan kita akan melihat perdebatan yang sama terus terulang. Pengemudi akan terus menuntut haknya, perusahaan akan terus menghindari kewajiban, dan pemerintah hanya akan mengeluarkan imbauan tanpa kekuatan hukum," pungkas Azas.

Antara Kepedulian dan Ketidakpastian Hukum

Pemberian Bonus Hari Raya bagi pengemudi ojol memang merupakan langkah positif dalam menunjukkan kepedulian sosial, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan utama. Selama status hukum ojek online dan aplikator tidak jelas, para pengemudi akan tetap berada dalam posisi rentan.

Pemerintah perlu memilih: apakah akan terus mempertahankan status quo, atau mulai mengambil langkah nyata untuk mengakui dan mengatur bisnis ojek online secara resmi? Jika tidak, maka setiap tahun, isu ini akan terus menjadi perdebatan tanpa ujung.

(Mond/L6)

#BonusHariRaya #BonusHariRayaOjol #BonusHariRayaKurirOnline #Nasional