Breaking News

Deretan Pasal Kontroversial dalam RUU Polri: Potensi Polemik Seperti RUU TNI

Ilustrasi 

D'On, Jakarta -
Pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) berpotensi memicu polemik serupa dengan yang terjadi pada revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Sejumlah pasal dalam draf yang beredar mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama kelompok masyarakat sipil yang menilai adanya perluasan kewenangan berlebihan bagi institusi kepolisian.

DPR Belum Jadikan RUU Polri Prioritas

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan kesiapan untuk membahas RUU Polri jika dianggap mendesak. Namun, untuk saat ini, DPR masih memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa hingga awal pekan ini belum ada jadwal resmi untuk membahas RUU Polri. "Belum ada surat presiden (Surpres) yang masuk ke DPR untuk memulai pembahasan RUU Polri," ujarnya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, revisi UU Polri belum menjadi prioritas saat ini. Namun, meskipun belum menjadi agenda utama, RUU Polri telah masuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR dan pembahasannya sudah mulai berjalan sejak 2024.

Sejumlah pasal dalam draf RUU Polri yang telah beredar memunculkan kekhawatiran di kalangan publik. Beberapa ketentuan yang dianggap kontroversial dinilai berpotensi membatasi kebebasan sipil, memperluas kewenangan kepolisian secara berlebihan, dan memperlambat regenerasi dalam tubuh Polri.

Pasal-Pasal yang Menjadi Sorotan

1. Pasal 16 Ayat 1 Huruf Q: Kewenangan Memblokir Akses Siber

Pasal ini mengatur bahwa Polri diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan perlambatan akses terhadap ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Namun, sejumlah pihak menganggap ketentuan ini dapat membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengkritik pasal ini karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kekhawatiran utama adalah kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang dapat mengarah pada pembungkaman kritik terhadap pemerintah atau institusi Polri sendiri.

2. Pasal 14 Ayat 1 Huruf G: Polri Sebagai ‘Investigator Superbody’

Pasal ini mengusulkan bahwa Polri bertugas mengoordinasikan, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, serta bentuk pengamanan swakarsa.

Kelompok masyarakat sipil menilai aturan ini berpotensi menjadikan Polri sebagai ‘investigator superbody’ dengan kewenangan yang terlalu luas. Jika ketentuan ini disahkan, kepolisian akan memiliki kendali penuh terhadap berbagai lembaga penyidik lain di luar institusi mereka, sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait independensi penyelidikan dalam berbagai kasus hukum.

3. Pasal 16A: Dominasi Polri dalam Intelijen Keamanan

Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelijen Keamanan (Intelkam) sebagai bagian dari kebijakan nasional. Usulan ini menimbulkan polemik karena dapat memperluas kewenangan Polri hingga melampaui lembaga intelijen lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN), BSSN, dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Para pengamat keamanan menyatakan bahwa jika Polri diberikan peran dominan dalam penyusunan kebijakan intelijen, akan ada potensi konflik kepentingan yang bisa mengganggu keseimbangan antar-lembaga negara. Selain itu, kekhawatiran muncul terkait kemungkinan penggunaan intelijen untuk tujuan politik atau kepentingan tertentu di luar ranah penegakan hukum.

4. Pasal 30 Ayat 2: Perpanjangan Usia Pensiun

RUU Polri juga mengusulkan perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota kepolisian. Jika revisi ini disahkan, maka usia pensiun anggota Polri akan menjadi:

  • 60 tahun untuk anggota biasa,
  • 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus,
  • 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Usulan ini ditentang oleh berbagai pihak karena dinilai dapat memperlambat regenerasi dalam tubuh Polri. Saat ini, salah satu masalah utama di kepolisian adalah tingginya jumlah perwira tinggi yang menumpuk di jabatan non-struktural. Perpanjangan usia pensiun dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi ini, serta menghambat promosi bagi anggota yang lebih muda.

Desakan Penolakan dari Masyarakat Sipil

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan keprihatinannya terhadap RUU Polri yang dianggap disusun tergesa-gesa dan berpotensi mengancam prinsip demokrasi serta hak-hak sipil.

“Kami mendesak agar DPR dan pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun undang-undang ini. Jangan sampai RUU Polri menjadi alat untuk membatasi kebebasan publik dan memperkuat kewenangan Polri secara berlebihan,” kata Isnur.

Ia juga menegaskan bahwa saat ini ada banyak rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak untuk dibahas, seperti:

  • RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT),
  • RUU Perampasan Aset,
  • RUU KUHAP,
  • RUU Penyadapan,
  • RUU Masyarakat Adat.

“Kami menolak keras revisi UU Polri yang diinisiasi oleh DPR ini,” tegasnya.

Kesimpulan: Akankah RUU Polri Tetap Dilanjutkan?

Meskipun belum menjadi prioritas utama DPR, revisi UU Polri telah masuk dalam daftar rancangan undang-undang yang akan dibahas. Namun, berbagai pasal dalam drafnya telah memicu perdebatan luas di masyarakat.

Jika revisi ini tetap dilanjutkan tanpa mempertimbangkan keberatan dari masyarakat sipil, besar kemungkinan akan muncul gelombang protes yang lebih besar. Polemik seputar RUU Polri pun diperkirakan akan terus berlanjut, sebagaimana yang terjadi pada revisi UU TNI.

Pemerintah dan DPR kini menghadapi dilema: meneruskan revisi dengan segala kontroversinya atau mengkaji ulang agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

(Mond)

#RUUPolri #Polri #Nasional