Breaking News

Diam-Diam, Panja Komisi I DPR Bahas RUU TNI di Hotel: Transparansi Dipertanyakan

Ilustrasi TNI Foto: hanffburhan/Shutterstock

D'On, Jakarta
– Sebuah pertemuan penting terkait revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) digelar pada Jumat (14/3), tetapi bukan di ruang rapat Komisi I DPR RI seperti biasanya. Alih-alih diadakan di Gedung Parlemen yang identik dengan transparansi publik, rapat ini justru berlangsung di sebuah hotel mewah, Fairmont Jakarta. Keputusan tersebut langsung memicu tanda tanya dari berbagai kalangan, terutama karena tidak adanya siaran langsung seperti yang biasa dilakukan melalui kanal YouTube DPR maupun TV Parlemen.

Rapat yang membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ini dimulai pukul 13.30 WIB dan dihadiri oleh anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI serta perwakilan pemerintah, termasuk dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan. Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menegaskan bahwa agenda ini merupakan bagian dari pembahasan serius untuk merevisi aturan terkait institusi militer, tetapi publik bertanya-tanya mengapa jalannya diskusi kali ini seolah berlangsung secara tertutup.

Ketika ditanya mengenai alasan tidak adanya siaran langsung, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin memberikan jawaban diplomatis. “Soal live atau tidak, tanyakan ke Sekjen ya,” ujarnya singkat.

Sejumlah Pasal Krusial Menuai Pro-Kontra

Pembahasan RUU TNI kali ini mencakup sejumlah pasal krusial yang menuai perdebatan tajam di berbagai kalangan. Salah satu yang paling mencolok adalah Pasal 47, yang membuka peluang bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil. Kritik tajam muncul dari berbagai pihak yang khawatir hal ini dapat menghidupkan kembali konsep dwifungsi ABRI, sebuah kebijakan kontroversial pada era Orde Baru yang memungkinkan militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan sipil.

Selain itu, revisi Pasal 53 yang mengatur batas usia pensiun juga menjadi perhatian serius. Jika aturan ini diperpanjang, dikhawatirkan jumlah perwira nonjob—yakni mereka yang masih aktif tetapi tidak memiliki jabatan struktural—akan meningkat tajam. Beberapa pihak menilai hal ini bisa menciptakan stagnasi dalam regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI.

Pasal 7 yang membahas tugas pokok TNI juga masuk dalam daftar isu sensitif yang dibahas dalam rapat tersebut. Perubahan pada pasal ini berpotensi mempengaruhi peran dan wewenang militer dalam situasi tertentu, termasuk dalam konteks penanganan ancaman non-militer yang selama ini menjadi domain utama aparat penegak hukum dan sipil.

Rapat Berakhir Lebih Cepat dari Jadwal

Menurut jadwal resmi, rapat ini seharusnya berlangsung hingga pukul 22.00 WIB. Namun, pantauan di lokasi pada pukul 21.30 WIB menunjukkan bahwa ballroom hotel yang digunakan untuk rapat sudah kosong. Menariknya, di depan ruangan tersebut hanya terdapat papan informasi bertuliskan "Rapat Kementerian Pertahanan," seolah menutupi bahwa diskusi ini sebenarnya merupakan pembahasan RUU TNI.

Keputusan untuk menggelar rapat di hotel, bukan di Gedung DPR, semakin menambah kecurigaan publik tentang transparansi dan independensi pembahasan. Beberapa pihak menilai pemindahan lokasi ini bisa menjadi upaya untuk mengurangi sorotan dan tekanan publik terhadap revisi yang dianggap sensitif.

Susunan Panja RUU TNI: Siapa Saja yang Terlibat?

Panja RUU TNI diketuai oleh Utut Adianto dari Fraksi PDIP, didampingi oleh empat wakil ketua:

  • Dave Laksono (Fraksi Golkar)
  • Budi Djiwandono (Fraksi Gerindra)
  • Ahmad Heryawan (Fraksi PKS)
  • Anton Sukartono (Fraksi Demokrat)

Sementara itu, anggota Panja terdiri dari 18 orang yang mewakili berbagai fraksi di DPR:

  • 4 anggota dari Fraksi PDIP
  • 3 anggota dari Fraksi Golkar
  • 3 anggota dari Fraksi Gerindra
  • 2 anggota dari Fraksi NasDem
  • 2 anggota dari Fraksi PKB
  • 2 anggota dari Fraksi PKS
  • 2 anggota dari Fraksi PAN

Dengan komposisi ini, perdebatan dalam rapat diperkirakan mencerminkan dinamika politik di parlemen, mengingat masing-masing fraksi memiliki kepentingan yang berbeda dalam revisi UU TNI ini.

Kekhawatiran Publik: Kembali ke Masa Lalu?

Revisi UU TNI telah menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir, terutama karena kekhawatiran bahwa aturan baru dapat mengarah pada kebangkitan kembali peran militer dalam pemerintahan sipil. Sejumlah akademisi dan aktivis demokrasi mengingatkan agar perubahan regulasi tidak malah mengulang kesalahan masa lalu.

“Militer adalah institusi yang memiliki fungsi pertahanan negara, bukan administrasi sipil. Jika perwira aktif mulai masuk ke birokrasi sipil, ini bisa menjadi kemunduran bagi reformasi TNI,” ujar seorang pengamat militer yang enggan disebutkan namanya.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa perubahan aturan ini justru diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. “TNI harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan strategis negara, termasuk dalam peran-peran tertentu di lembaga sipil,” ujar seorang legislator yang mendukung revisi ini.

Namun, dengan minimnya transparansi dalam pembahasan yang berlangsung diam-diam di hotel, kepercayaan publik terhadap proses legislasi ini pun dipertaruhkan. Jika revisi ini benar-benar membawa dampak besar bagi struktur dan fungsi TNI, maka sudah sewajarnya publik mendapatkan akses penuh terhadap jalannya diskusi ini.

Apa Selanjutnya?

Dengan banyaknya perdebatan yang muncul, revisi UU TNI ini diprediksi akan terus menjadi bahan diskusi di ruang publik. Tekanan dari berbagai elemen masyarakat kemungkinan akan semakin meningkat untuk memastikan bahwa perubahan aturan ini tidak melenceng dari prinsip-prinsip reformasi yang selama ini dijaga.

Apakah revisi ini benar-benar demi kepentingan bangsa, atau justru membuka celah bagi kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil? Jawaban atas pertanyaan ini masih menggantung, tetapi satu hal yang pasti publik akan terus mengawasi.

(Mond)

#RUUTNI #DPR #Nasional