Doktif Resmi Jadi Tersangka UU ITE: Dari Kritik Skincare hingga Jerat Hukum
Doktif diklaim oleh pengacara Andreas Situngkir telah resmi menjadi tersangka pelanggaran UU ITE. (Google)
D'On, Jakarta – Konten kreator medis, Doktif, kini menghadapi proses hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik yang menyeret dokter Andreas Hendri Situngkir. Kasus ini berawal dari kritik terbuka yang dilontarkan Doktif mengenai praktik bisnis dokter Andreas di media sosial. Seiring berjalannya waktu, polemik ini berkembang menjadi sengketa hukum yang melibatkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Awal Mula Konflik: Kritik yang Berujung Kontroversi
Kasus ini bermula pada 2024 ketika Doktif, yang dikenal sebagai dokter sekaligus pengkritik praktik medis di media sosial, mengunggah sebuah pernyataan kontroversial. Ia menyoroti aktivitas dr. Andreas Situngkir yang diduga menjalankan jasa titipan (jastip) produk skincare dari Bangkok, Thailand.
Dalam unggahannya, Doktif mempertanyakan apakah produk yang dibawa dari luar negeri tersebut telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Ia menegaskan bahwa seorang dokter seharusnya memahami regulasi distribusi produk kesehatan dan tidak boleh sembarangan menjual produk yang belum jelas status hukumnya.
"Kalau datang dari Bangkok, apakah punya izin edar dari BPOM RI?" tulis Doktif dalam unggahannya.
Unggahan ini memicu perdebatan sengit di dunia maya. Sebagian pengguna media sosial mendukung Doktif, menyatakan bahwa kritik terhadap praktik medis yang tidak transparan memang diperlukan demi melindungi konsumen. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa unggahan tersebut telah menyerang pribadi dr. Andreas dan merusak reputasinya sebagai tenaga medis.
Langkah Hukum: Laporan Polisi oleh dr. Andreas
Merasa dirugikan atas pernyataan tersebut, dr. Andreas Hendri Situngkir mengambil langkah hukum. Melalui kuasa hukumnya, Julianus Paulus Sembiring, ia resmi melaporkan Doktif ke Polda Sumatera Utara pada 8 Oktober 2024.
Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/1400/X/2024 dan mencantumkan dugaan pelanggaran Pasal 27A UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan penyerangan kehormatan seseorang di ruang digital.
"Laporan kami atas nama Andreas Situngkir dibuat di Polda Sumut pada 8 Oktober 2024 terhadap satu akun bernama Doktif atas dugaan pelanggaran Pasal 27A UU ITE," ujar Julianus kepada media.
Pihak kepolisian pun mulai melakukan penyelidikan dengan memanggil sejumlah saksi, termasuk saksi ahli dalam bidang hukum dan digital forensik. Berbagai bukti seperti tangkapan layar unggahan media sosial serta rekam jejak digital Doktif dikumpulkan untuk mendukung proses penyelidikan.
Penyidikan dan Penetapan Tersangka
Seiring berjalannya waktu, kasus ini memasuki tahap penyidikan setelah penyidik Polda Sumut menggelar perkara. Berdasarkan hasil penyelidikan, polisi akhirnya menetapkan Doktif sebagai tersangka pada 17 Maret 2025.
Kuasa hukum dr. Andreas, Julianus, mengonfirmasi penetapan status tersangka tersebut melalui pemberitahuan resmi dari kepolisian.
"Kami telah mendapatkan informasi resmi dari Polrestabes Medan melalui SP2HP bahwa penyidik telah melaksanakan gelar perkara dan menetapkan Doktif sebagai tersangka," jelasnya.
Ia juga menekankan harapan agar polisi segera menahan Doktif, dengan alasan bahwa konten kreator tersebut telah beberapa kali melakukan tindakan yang dianggap menyerang kliennya.
"Kami berharap Doktif bisa ditahan karena sudah melakukan pidana berulang terhadap klien kami," tambahnya.
Dampak dan Respons Publik
Penetapan tersangka terhadap Doktif langsung menjadi sorotan publik, terutama di kalangan pegiat media sosial dan komunitas medis. Banyak yang menilai kasus ini sebagai ujian bagi kebebasan berpendapat di era digital.
Beberapa pihak mendukung langkah hukum yang diambil dr. Andreas, menegaskan bahwa kritik yang menjurus pada pencemaran nama baik harus ditindak secara hukum. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berbicara, terutama bagi mereka yang sering mengkritik praktik di dunia medis dan industri kecantikan.
Seiring berjalannya proses hukum, publik masih menantikan bagaimana Doktif akan merespons status tersangka yang kini disandangnya. Apakah ia akan mengajukan pembelaan hukum, atau justru memilih untuk meminta maaf dan menempuh jalur damai?
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di era digital, batas antara kritik dan pencemaran nama baik semakin tipis. Satu unggahan di media sosial dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius.
(Mond)
#Doktif #Hukum #UUITE