DPR Ingatkan TNI: Fokus pada Pertahanan, Bukan Jabatan Sipil
Prajurit Korps Marinir TNI AL menembak sasaran dalam lomba pentathlon di Kesatrian Marinir
D'On, Jakarta – Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali memicu diskusi panas di parlemen. Salah satu isu krusial yang mencuat adalah kemungkinan penempatan perwira aktif TNI di berbagai jabatan sipil. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar di Gedung DPR RI, Selasa (4/3/2025), Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, secara tegas menyuarakan kekhawatirannya terhadap kebijakan ini.
Menurutnya, tugas utama prajurit TNI adalah bertempur di medan perang dan menjaga pertahanan negara, bukan mengisi pos-pos birokrasi di lingkungan pemerintahan sipil. Ia menilai bahwa langkah ini berisiko besar, baik bagi institusi militer maupun bagi sistem birokrasi negara secara keseluruhan.
Kehilangan Sumber Daya Militer Terbaik
TB Hasanuddin menekankan bahwa kebijakan ini bisa berdampak buruk pada institusi TNI itu sendiri. Dengan menempatkan perwira-perwira terbaik di jabatan sipil, negara justru kehilangan potensi militer yang unggul di lapangan.
"Jika para perwira terbaik kita justru ditempatkan sebagai Dirjen (Direktur Jenderal) di kementerian atau lembaga lain, maka kita kehilangan sumber daya manusia terbaik di tubuh TNI. Ini sangat disayangkan," tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pembinaan karier perwira militer seharusnya diarahkan untuk memperkuat sistem pertahanan negara, bukan mengisi pos-pos birokrasi yang seharusnya menjadi domain Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kompetensi Militer vs. Kompetensi Sipil
Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama dalam polemik ini adalah perbedaan kompetensi antara militer dan sipil. Sejak awal pendidikan dan pelatihannya, seorang prajurit TNI dibentuk untuk memiliki mental dan keterampilan yang berorientasi pada pertahanan dan keamanan negara.
"Para perwira ini sejak awal dididik untuk bertempur dan mempertahankan kedaulatan negara. Jika mereka kemudian ditempatkan di ranah sipil, bagaimana dengan keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan? Apakah mereka siap?" ujar politikus PDIP ini.
Menurutnya, perbedaan mendasar antara sistem kepemimpinan militer yang hierarkis dan birokrasi sipil yang lebih fleksibel juga dapat menjadi kendala besar. Seorang perwira yang terbiasa dengan komando dan disiplin ketat mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan dinamika pemerintahan sipil yang lebih mengedepankan administrasi dan koordinasi antarinstansi.
Potensi Kecemburuan Sosial di Kalangan ASN
Selain dari aspek kompetensi, TB Hasanuddin juga menggarisbawahi potensi gesekan sosial yang bisa terjadi jika prajurit aktif mulai mengisi posisi sipil strategis. Menurutnya, ASN yang telah berkarier bertahun-tahun bisa merasa diperlakukan tidak adil ketika tiba-tiba seorang perwira TNI aktif masuk dan langsung menduduki jabatan tinggi.
"Bayangkan, seorang ASN yang memulai kariernya dari posisi bawah, seperti juru ketik, kemudian naik menjadi Kasubag, Kabag, hingga akhirnya hampir mencapai posisi Dirjen. Lalu tiba-tiba ada seorang Mayjen (Mayor Jenderal) yang langsung menduduki posisi tersebut. Betapa sakit hatinya," ungkapnya dengan nada prihatin.
Ketimpangan ini, menurutnya, bisa menimbulkan kecemburuan dan mengganggu stabilitas internal birokrasi pemerintahan. Kepercayaan ASN terhadap sistem karier yang adil pun bisa terkikis jika kebijakan ini benar-benar diterapkan tanpa kajian mendalam.
RUU TNI: Masih Banyak Pertanyaan
Meskipun bersikap kritis terhadap wacana ini, TB Hasanuddin mengaku bahwa pihaknya belum mendapatkan draf revisi UU TNI secara lengkap. Hingga saat ini, Komisi I DPR masih menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) yang akan menjadi dasar pembahasan revisi tersebut.
"Sampai hari ini, kami belum menerima drafnya, belum tahu berapa pasal yang akan direvisi, dan apa saja yang menjadi poin perubahan," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa revisi UU TNI harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak merusak sistem yang sudah ada. Prinsip utama yang harus dipegang adalah memastikan bahwa TNI tetap fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga pertahanan negara, bukan mengisi jabatan di pemerintahan sipil.
Menjaga Profesionalisme TNI
Polemik mengenai perwira aktif di jabatan sipil bukanlah isu baru, namun selalu menjadi perdebatan sensitif. Bagi TB Hasanuddin dan banyak pihak lainnya, profesionalisme TNI harus tetap dijaga dengan memastikan bahwa para prajurit tetap fokus pada tugas utamanya di bidang pertahanan.
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa kajian yang matang, Indonesia bisa menghadapi dua masalah besar: kehilangan sumber daya militer terbaik di satu sisi, serta munculnya ketimpangan dalam sistem birokrasi di sisi lain. Oleh karena itu, keputusan terkait revisi UU TNI harus benar-benar mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, demi menjaga keseimbangan antara kepentingan militer dan sipil di negara ini.
(Mond)
#TNI #Militer #RUUTNI #DPR #Nasional