Breaking News

Dramatisasi Suap Politik: Hasto Setujui Rp 1 M untuk Wahyu Setiawan, Kucurkan Dana Rp 400 Juta

Petugas mengawal Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kedua kiri) setibanya untuk menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakara Pusat, Jumat (14/3/2025).

D'On, Jakarta
– Suasana di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mendadak hening ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) mulai membacakan dakwaan terhadap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, Jumat (14/3). Dakwaan itu mengungkap bagaimana sebuah konspirasi politik dijalankan dengan aliran dana miliaran rupiah demi meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.

Dalam dakwaan yang menggetarkan ruang sidang, jaksa merinci bagaimana Hasto memberikan restu atas upaya suap sebesar Rp 1 miliar kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan. Uang itu bukan sekadar 'dana operasional', melainkan alat transaksi politik agar Harun Masiku dapat menggantikan Riezky Aprilia sebagai anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I.

Awal Mula Konspirasi: Perintah dari Hasto

Jaksa mengungkap bahwa Hasto tidak bertindak sendirian. Ia diduga menggerakkan dua orang kepercayaannya, Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, untuk menjalankan misi politik ini.

Perintah itu jelas: pastikan Harun Masiku masuk ke DPR. Demi menjalankan instruksi ini, Saeful Bahri segera mencari jalur yang bisa meloloskan Harun. Pilihan jatuh pada Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, yang diketahui memiliki kedekatan dengan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

Negosiasi Suap: Rp 1 Miliar untuk Kursi DPR

Komunikasi antara Saeful dan Agustiani pun dimulai. Tidak butuh waktu lama bagi Agustiani untuk menghubungi Wahyu Setiawan. Namun, keinginan politik ini tentu tidak murah. Wahyu meminta kompensasi—uang sebesar Rp 1 miliar sebagai 'dana operasional'.

"Agustiani Tio menyampaikan kepada Saeful Bahri tentang permintaan dari Wahyu Setiawan sebesar Rp 1 miliar. Kemudian Saeful Bahri melaporkan permintaan Wahyu Setiawan tersebut kepada Terdakwa (Hasto) dan Terdakwa menyetujuinya," ujar jaksa dalam persidangan.

Mendengar permintaan tersebut, Hasto menyetujui skema suap ini. Ia pun segera menyalurkan dana Rp 400 juta melalui stafnya, Kusnadi. Uang itu kemudian diserahkan kepada Saeful Bahri di Kantor DPP PDIP, menjadi bagian dari komitmen politik yang telah disepakati.

Sementara itu, Harun Masiku juga tidak tinggal diam. Ia menyiapkan uang tambahan sebesar Rp 850 juta. Dari jumlah itu, sebagian besar dibagikan ke beberapa pihak, termasuk Donny Tri, Agustiani, dan Saeful Bahri. Uang tersebut dikumpulkan di tangan Saeful untuk kemudian disalurkan secara bertahap ke Wahyu Setiawan melalui Agustiani.

Strategi Kotor: Perintah Menghilangkan Barang Bukti dan Melarikan Diri

Namun, rencana yang dirancang rapih itu tidak berjalan mulus. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengguncang skema yang telah mereka bangun. Harun Masiku, yang seharusnya menjadi penerima manfaat terbesar dari transaksi ini, justru menjadi buronan setelah KPK mulai memburu para pelaku.

Dalam dakwaan, jaksa juga mengungkap bahwa Hasto tidak hanya terlibat dalam suap, tetapi juga dalam upaya menghalangi penyidikan KPK. Ia disebut memerintahkan Harun Masiku untuk ‘merendam’ atau membuang ponselnya agar tidak dapat dilacak oleh penyidik KPK. Tak hanya itu, Hasto juga diduga memerintahkan Harun untuk segera melarikan diri guna menghindari operasi penegak hukum.

Perintah ini berujung pada hilangnya jejak Harun Masiku hingga kini. Ia menghilang bak ditelan bumi, sementara kasus yang menyeretnya terus berlanjut di meja hijau.

Jerat Hukum untuk Hasto

Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, keterlibatannya dalam menghalangi penyidikan membuatnya juga dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia politik Indonesia, mengingat keterlibatan pejabat tinggi partai dalam skandal suap demi memanipulasi proses demokrasi. Kini, publik menanti bagaimana persidangan ini akan berakhir—apakah keadilan benar-benar akan ditegakkan, atau justru ada kekuatan lain yang mampu membelokkan jalannya hukum?

Satu hal yang pasti: skandal ini belum selesai. Masih ada pertanyaan besar yang menggantung, terutama soal keberadaan Harun Masiku yang hingga kini belum juga tertangkap. Apakah ia benar-benar bersembunyi, atau ada tangan-tangan kuat yang melindunginya? Waktu akan menjawabnya.

(Mond)

#HastoKristiyanto #Suap #KPK #Hukum #KasusHarunMasiku