Breaking News

Dugaan Pungli di Balik Keadilan: Kanit PPA Polrestabes Makassar Diperiksa karena Minta Rp 10 Juta ke Pelaku Pencabulan

Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana.

D'On, Makassar
– Kasus dugaan pungutan liar (pungli) kembali mencoreng institusi kepolisian. Kali ini, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Satreskrim Polrestabes Makassar, Iptu HR, tengah menjadi sorotan setelah diduga meminta uang sebesar Rp 10 juta kepada seorang pelaku pelecehan seksual. Uang tersebut diduga sebagai "biaya damai" agar kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan lewat mekanisme restorative justice (RJ).

Skandal ini pertama kali diungkapkan oleh Kepala Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD PPA Kota Makassar, Makmur, yang mengungkap bahwa Iptu HR tidak hanya menuntut uang dari pelaku, tetapi juga berencana membaginya menjadi dua. Sebanyak Rp 5 juta disebut akan diberikan kepada korban sebagai "uang lebaran," sementara sisanya—Rp 5 juta—akan masuk ke kantong pribadi sang Kanit.

Tindakan Memalukan: Korban Dipaksa Berdamai, Pendamping Diusir

Menurut Makmur, upaya damai ini jelas melanggar hukum. Kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), bukan lagi perkara yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, yang lebih mengejutkan adalah sikap arogan Iptu HR yang diduga mengusir pendamping korban dari UPTD PPA saat proses pertemuan berlangsung.

"Kami sangat keberatan dengan perilaku oknum kanit PPA Polrestabes Makassar. Berdasarkan undang-undang, kekerasan seksual tidak bisa lagi didamaikan. Banyak kasus yang coba diselesaikan dengan alasan RJ, dan kami tidak sepakat! Kami sangat marah mengetahui pendamping korban diusir dari ruangan," tegas Makmur, Rabu (12/3/2025).

Tindakan Iptu HR ini tidak hanya menimbulkan kemarahan dari UPTD PPA, tetapi juga menyoroti persoalan mendasar dalam sistem penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual. Ketika aparat yang seharusnya menjadi benteng keadilan malah terlibat dalam praktik transaksional, maka di mana lagi korban bisa mencari perlindungan?

Polisi Bergerak: Kanit PPA dan Penyidiknya Diperiksa

Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana, memastikan bahwa pihaknya tidak tinggal diam. Ia mengungkapkan bahwa Iptu HR beserta seorang penyidiknya telah dipanggil dan diperiksa oleh Paminal (Pengamanan Internal).

"Kami panggil untuk melakukan klarifikasi. Kanitnya sendiri juga sudah diperiksa, termasuk penyidiknya," ungkap Arya.

Namun, hingga saat ini, kepolisian masih menunggu hasil pemeriksaan internal untuk memastikan kebenaran dugaan tersebut. Jika terbukti bersalah, Arya menegaskan bahwa Iptu HR dan penyidiknya akan dicopot dari jabatannya serta dikenakan sanksi disiplin sesuai aturan yang berlaku.

"Kita lihat apakah itu benar atau salah, lalu hasilnya bagaimana. Mengapa sampai melakukan itu, latar belakangnya apa, kronologinya bagaimana—semua akan kami dalami. Kalau terbukti benar, maka tindakan tegas akan diberikan," tegas Arya.

Lebih dari Sekadar Oknum: Cermin Buram Penegakan Hukum

Kasus ini bukan sekadar soal satu atau dua oknum. Ini adalah refleksi dari bagaimana penegakan hukum di Indonesia masih rentan disusupi kepentingan transaksional. Ketika polisi yang seharusnya melindungi korban malah lebih peduli pada "uang damai," maka kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum semakin terkikis.

Pertanyaannya, berapa banyak kasus kekerasan seksual yang sebenarnya berakhir dengan jalan damai semacam ini? Berapa banyak korban yang hak-haknya dikebiri hanya karena ada aparat yang lebih memilih jalur "cepat" demi keuntungan pribadi?

Publik tentu menunggu langkah tegas dari Polrestabes Makassar. Jika kasus ini hanya berakhir dengan sanksi ringan, maka itu akan menjadi preseden buruk yang semakin memperburuk citra kepolisian. Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya hukuman administratif, tetapi juga reformasi menyeluruh dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Sebab, keadilan sejati tidak seharusnya memiliki harga.

(Mond)

#Polri #PolisiPerasPelakuPencabulan #Pemerasan