Geger di Maros: Tarekat Ana’ Loloa dan Ajaran Menyesatkan yang Mengubah Rukun Islam Jadi 11
Ilustrasi
D'On, Maros, Sulawesi Selatan – Sebuah fenomena keagamaan yang menghebohkan terjadi di Desa Bontosomba, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel). Masyarakat setempat diguncang oleh munculnya sebuah kelompok tarekat bernama Ana’ Loloa, yang dipimpin oleh seorang perempuan berusia 56 tahun bernama Petta Bau.
Yang membuat ajaran ini kontroversial adalah keyakinan mereka bahwa Rukun Islam bukan lima, melainkan sebelas, serta ajaran bahwa ibadah haji tak perlu dilakukan ke Makkah, melainkan cukup dengan mendaki Gunung Bawakaraeng—sebuah gunung yang selama ini dikenal memiliki makna spiritual bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan.
Munculnya tarekat ini memicu keresahan di tengah masyarakat, hingga akhirnya pemerintah dan aparat penegak hukum turun tangan untuk menangani situasi yang semakin memanas.
Kemunculan Kembali Ajaran Lama yang Pernah Diredam
Menurut Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tompobulu, Danial, ajaran Petta Bau sebenarnya bukan fenomena baru. Kelompok ini pertama kali terdeteksi pada Oktober 2024, dan saat itu, otoritas keagamaan serta pihak berwenang segera melakukan investigasi untuk meneliti lebih lanjut keberadaan ajaran tersebut.
“Kami pertama kali menerima laporan dari masyarakat pada 15 Oktober 2024. Keesokan harinya, kami langsung melakukan investigasi dan menemukan bahwa ajaran ini sama sekali tidak memiliki dasar yang sah dalam Islam,” ujar Danial.
Dalam penyelidikan itu, Petta Bau mengaku memperoleh ajarannya melalui mimpi. Ia mengklaim bahwa dirinya diajari langsung oleh Nabi Khidir, sosok misterius dalam kepercayaan Islam yang sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan ilmu spiritual.
Namun, ketika diminta untuk menjelaskan secara ilmiah dan teologis tentang konsep rukun Islam yang mereka anut, Petta Bau tidak mampu memberikan jawaban yang jelas. Bahkan, ia tidak dapat menyebutkan rukun Islam yang lima dengan benar.
Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa Petta Bau memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak bisa membaca, sehingga diduga bahwa ajarannya berkembang berdasarkan tafsir pribadi yang tidak memiliki dasar kuat.
Pada Oktober 2024, setelah berbagai upaya pembinaan, Petta Bau akhirnya berjanji untuk tidak lagi menyebarkan ajarannya. Namun, janji itu ternyata tak bertahan lama.
Diam-Diam Masih Menyebarkan Ajarannya
Maret 2025, laporan baru muncul. Petta Bau ternyata masih melanjutkan aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi, meskipun sebelumnya telah berjanji menghentikan ajaran sesatnya.
Kementerian Agama (Kemenag), melalui Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, segera membentuk Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan untuk merespons situasi ini.
“Tim pencegahan diharapkan bisa segera merespons setiap peristiwa atau gejala konflik sosial yang terjadi di daerahnya. Tim ini juga diharapkan terus bersinergi dengan Ormas keagamaan Islam setempat, aparat penegak hukum, serta stakeholder lainnya,” ujar Arsad pada Senin (10/3/2025).
Pada 5 Maret 2025, tim gabungan yang terdiri dari KUA Tompobulu, Polsek Tompobulu, Kesbangpol, MUI Kabupaten Maros, serta pemerintah Desa Bontosomba segera mengambil langkah konkret. Mereka mendatangi kediaman Petta Bau untuk meminta keterangan langsung.
Namun, mereka hanya menemukan rumahnya kosong. Warga setempat mengatakan bahwa Petta Bau sedang berdagang, dan berdasarkan informasi lain, ia sering berpindah tempat antara Desa Bontosomba dan kampung halamannya di Malino, Kabupaten Gowa. Saat ini, keberadaannya masih dalam pemantauan aparat.
Langkah Penanganan: Pembinaan atau Penindakan?
Dalam menanggapi fenomena ini, pihak berwenang tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum tetapi juga aspek sosial dan keagamaan.
Danial menegaskan bahwa pihak KUA dan Kemenag akan berkoordinasi dengan MUI dan Ormas Islam lainnya untuk melakukan pembinaan terhadap Petta Bau serta para pengikutnya.
“Kami akan memastikan bahwa mereka mendapatkan pembinaan yang intensif. Sebab, bisa jadi kemunculan dan penyebaran ajaran ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman agama di kalangan mereka,” katanya.
Selain itu, tim investigasi juga melihat adanya kemungkinan bahwa ajaran ini tidak hanya bersumber dari kebingungan individu, tetapi mungkin juga dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lokal yang bercampur dengan Islam.
Dengan kondisi seperti ini, pemerintah dan otoritas keagamaan harus bertindak hati-hati. Jika terlalu keras, bisa menimbulkan perlawanan dari kelompok tersebut. Jika terlalu lunak, ajaran serupa bisa berkembang lebih luas.
Gunung Bawakaraeng dan Fenomena Spiritual di Sulawesi Selatan
Salah satu aspek menarik dari ajaran Petta Bau adalah anggapan bahwa Gunung Bawakaraeng bisa menggantikan Makkah sebagai tempat berhaji.
Gunung ini memang telah lama menjadi lokasi ritual keagamaan bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap tahun, ada kelompok yang melakukan perjalanan ke puncaknya untuk melaksanakan ritual yang disebut Haji Bawakaraeng, sebuah praktik yang dianggap menyimpang oleh mayoritas ulama Islam.
Beberapa ahli melihat praktik ini sebagai bentuk sinkretisme, yakni pencampuran antara Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang lebih dulu ada. Namun, dalam kasus Petta Bau, ajarannya terlihat lebih ekstrem, karena bukan hanya soal berhaji ke Bawakaraeng, tetapi juga perubahan fundamental dalam rukun Islam.
Tantangan Pemerintah dan Masyarakat
Kasus ini menunjukkan bahwa pemahaman agama yang dangkal bisa berujung pada munculnya ajaran-ajaran yang menyesatkan.
Pemerintah dan lembaga keagamaan memiliki tugas berat dalam mengedukasi masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil, agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran tanpa dasar yang jelas.
Ke depan, langkah-langkah yang bisa diambil mencakup:
- Pendekatan edukatif melalui dakwah dan penyuluhan agama secara lebih intensif di komunitas-komunitas yang rentan.
- Pemantauan lebih ketat terhadap kelompok-kelompok dengan ajaran menyimpang sebelum mereka berkembang lebih luas.
- Kolaborasi antara pemerintah, ormas Islam, serta tokoh masyarakat untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah konflik keagamaan.
Saat ini, kasus Petta Bau masih dalam tahap penanganan lebih lanjut. Apakah ajarannya akan benar-benar dihentikan? Atau justru akan terus berkembang secara diam-diam?
Waktu yang akan menjawab.
(okz)
#AliranSesat #Viral