Hasto Kristiyanto Bacakan Eksepsi: Klaim Intimidasi Usai PDIP Pecat Jokowi, Sebut Kasusnya Sarat Politisasi
Sidang lanjutan kasus suap dan perintangan penyidikan dengan agenda pembacaan eksepsi dari terdakwa, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
D'On, Jakarta – Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyampaikan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025). Dalam pembelaannya, Hasto menegaskan bahwa kasus yang menjeratnya bukan sekadar perkara hukum biasa, melainkan memiliki nuansa politik yang kuat.
Tak hanya itu, Hasto secara terang-terangan menyebut nama Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), dalam sidang tersebut. Ia mengaku bahwa intimidasi terhadap dirinya semakin intens setelah PDIP resmi memecat Jokowi dari keanggotaan partai usai Pilkada 2024.
"Puncak intimidasi kepada saya terjadi pada hari-hari menjelang proses pemecatan kader-kader partai yang masih memiliki pengaruh kuat di kekuasaan," ujar Hasto saat membacakan eksepsi di hadapan majelis hakim.
Mengapa Hasto Merasa Kasusnya Sarat Politisasi?
Sebagai Sekjen PDIP, Hasto menegaskan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab menyampaikan sikap politik partai, termasuk menolak penggunaan sumber daya negara dan alat negara untuk kepentingan Pemilu 2024. Sikap tegasnya ini, menurutnya, memicu ketidaksenangan dari pemerintah saat itu, yang masih dipimpin oleh Jokowi.
Ia juga mengeklaim bahwa kasus Harun Masiku kerap dijadikan sebagai instrumen politik untuk menekan dirinya.
"Hal ini terlihat dari monitoring media, di mana kasus Harun Masiku selalu cenderung naik seiring dengan dinamika politik dan sikap kritis PDI Perjuangan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Hasto menceritakan bagaimana ia pernah didatangi oleh seorang pejabat negara yang mencoba menekannya. Pejabat tersebut, kata Hasto, meminta agar ia mundur sebagai Sekjen PDIP dan membatalkan pemecatan Jokowi dari partai.
"Pada periode 4-15 Desember 2024, menjelang pemecatan Pak Jokowi oleh DPP PDI Perjuangan setelah mendapat laporan dari Badan Kehormatan Partai, saya didatangi seorang utusan dari pejabat negara," kata Hasto.
"Utusan tersebut meminta saya mundur, tidak boleh melakukan pemecatan, atau saya akan dijadikan tersangka dan ditangkap," lanjutnya.
Hasto pun menilai bahwa penetapan status tersangka terhadap dirinya terjadi tak lama setelah pemecatan Jokowi dari PDIP, memperkuat dugaan bahwa kasusnya memiliki motif politis.
Sebut Jaksa Tak Cermat, Persidangan Sarat dengan Saksi dari Internal KPK
Dalam eksepsinya, Hasto juga menyoroti ketidakcermatan jaksa dalam menyusun dakwaan. Menurutnya, banyak aspek yang tidak jelas dan merugikan dirinya secara hukum.
Salah satu yang ia persoalkan adalah fakta bahwa 13 orang saksi berasal dari internal KPK, termasuk penyidik Rossa Purba Bekti, yang menurutnya terlalu berpihak kepada kepentingan penyelidikan KPK.
"Bahkan Saudara Rossa Purba Bekti sebagai penyidik pun juga bertindak sebagai saksi yang cenderung memberatkan saya," tegas Hasto.
"Dengan adanya 13 saksi dari internal KPK, tentu konstruksi dan konklusi hukum yang disampaikan lebih mengarah pada maksud dan tujuan para penyidik sehingga tidak terlepas dari subjektivitas," tambahnya.
Ia juga menyoroti fakta bahwa banyak saksi tidak melihat, mendengar, atau mengalami langsung peristiwa yang menjadi dasar dakwaan terhadap dirinya.
Mengapa Hasto Menyangkal Keterlibatannya dalam Kasus Suap?
Dalam dakwaan, Hasto disebut membantu buron Harun Masiku dalam upaya memenangkan kursi parlemen pada Pemilu Legislatif 2019. Ia didakwa telah memberikan uang Rp400 juta dari total Rp1 miliar, untuk menyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Namun, dalam eksepsinya, Hasto membantah keras tuduhan tersebut. Ia mengklaim bahwa namanya sama sekali tidak disebutkan dalam putusan terdakwa sebelumnya, seperti Wahyu Setiawan, Agustiani Tio, dan Saeful Bahri, yang telah lebih dulu divonis bersalah.
"Jika saya benar-benar memiliki kepentingan dalam kasus ini, seharusnya saya yang mendapat uang dari Harun Masiku, bukan malah membantu memberikan suap senilai Rp400 juta," ujar Hasto membela diri.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kasus ini murni merupakan urusan antara Saeful Bahri dan Harun Masiku, dan tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.
Menolak Tuduhan Menghilangkan Barang Bukti
Dalam dakwaan lainnya, Hasto juga dituduh telah melakukan perintangan penyidikan, termasuk memerintahkan stafnya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponselnya agar tidak bisa digunakan sebagai barang bukti.
Namun, Hasto membantah tuduhan itu dengan alasan yang cukup unik. Ia mengatakan bahwa istilah "menenggelamkan" yang ia gunakan bukan berarti menghancurkan ponsel, melainkan mengacu pada ritual "melarung"—suatu tradisi membuang benda ke air sebagai simbol membuang kesialan.
"Pesan 'menenggelamkan' itu merujuk pada ritual melarung untuk membuang sial, yang biasa saya lakukan dengan cara membuang pakaian," klaim Hasto.
Hasto Minta Hakim Batalkan Dakwaan dan Pulihkan Nama Baiknya
Dalam petitumnya, Hasto meminta majelis hakim untuk membatalkan seluruh dakwaan JPU dan menyatakan dakwaan tersebut batal demi hukum atau tidak dapat diterima.
Selain itu, ia meminta agar proses pemeriksaan terhadap dirinya dihentikan, dirinya dibebaskan dari tahanan, serta dipulihkan nama baik dan kedudukannya.
Tak hanya itu, ia juga meminta majelis hakim untuk memerintahkan JPU mengembalikan barang-barang pribadinya yang dijadikan barang bukti, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Drama Hukum atau Politisasi?
Kasus Hasto Kristiyanto kini menjadi sorotan publik, terutama karena keterkaitannya dengan PDIP, Jokowi, dan dinamika politik nasional. Tuduhan suap dan perintangan penyidikan yang diarahkan kepadanya disebut sebagai upaya hukum, namun bagi Hasto, ini adalah bagian dari tekanan politik setelah ia bersikap kritis terhadap pemerintah dan berperan dalam pemecatan Jokowi dari partai.
Sidang ini diprediksi akan terus menarik perhatian publik. Apakah dakwaan terhadap Hasto akan terbukti di pengadilan? Atau justru akan memperkuat dugaan bahwa kasus ini memang sarat dengan kepentingan politik?
Semua mata kini tertuju pada putusan majelis hakim dalam sidang-sidang berikutnya.
(Mond)
#PDIP #Hukum #HastoKristiyanto #Politik #PemecatanJokowi