Breaking News

Jubir Istana Soal Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo: "Dimasak Aja"

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi

D'On, Jakarta
– Dunia jurnalistik Indonesia kembali diguncang aksi teror terhadap jurnalis. Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo yang kerap menyampaikan kritik tajam dalam siniar Bocor Alus Politik Tempo, menjadi sasaran ancaman mengerikan. Sebuah paket misterius berisi kepala babi dengan kedua telinganya terpotong dikirimkan ke kantornya. Namun, alih-alih mengecam aksi teror ini, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, justru melontarkan pernyataan yang mencengangkan: "Udah dimasak aja."

Teror yang Mengarah ke Kebebasan Pers

Insiden ini terjadi pada Rabu, 19 Maret 2025, pukul 16.15 WIB, ketika satuan pengamanan Tempo menerima paket mencurigakan. Baru pada keesokan harinya, ketika dibuka oleh jurnalis, isi paket itu terungkap—sebuah kepala babi yang sudah dalam kondisi mengenaskan. Teror semacam ini bukan sekadar ancaman fisik, tetapi juga simbol intimidasi yang sarat makna, terutama bagi seorang jurnalis yang dikenal lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintah dan isu-isu sensitif lainnya.

Dugaan kuat mengarah pada motif pembungkaman. Francisca, atau yang akrab disapa Cica, adalah sosok di balik berbagai laporan investigatif dan diskusi terbuka dalam podcast Bocor Alus, yang mengupas isu politik, kebijakan pemerintah, hingga kontroversi banjir di Jakarta. Tidak sedikit pihak yang merasa terusik oleh kritiknya, dan teror ini tampak seperti upaya menekan kebebasan pers yang seharusnya dijamin dalam negara demokrasi.

Respons Tak Terduga: Kepala Komunikasi Kepresidenan Menyepelekan Teror

Ketika awak media meminta tanggapan dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, alih-alih mengecam aksi tersebut atau menyatakan dukungan terhadap kebebasan pers, ia malah mengeluarkan komentar yang mencederai nurani banyak pihak.

"Udah dimasak aja," ujar Hasan santai saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan pada Jumat, 21 Maret 2025.

Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras dari jurnalis yang hadir. Beberapa awak media mencoba mengklarifikasi apakah Hasan benar-benar serius dengan ucapannya, mengingat kepala babi yang dikirimkan sudah dalam kondisi tidak layak konsumsi. Namun, Hasan tetap bergeming.

"Udah dimasak aja," ulangnya dengan nada yang sama.

Lebih jauh, Hasan bahkan menilai bahwa peristiwa ini bukan ancaman serius bagi Francisca. Ia berdalih bahwa dari pantauannya di media sosial, Francisca tampak santai menanggapi insiden ini.

"Saya lihat ya, saya lihat dari media sosialnya Francisca yang wartawan Tempo itu, itu dia justru minta dikirimin daging babi," ujarnya dengan nada seakan meremehkan peristiwa tersebut.

Antara Sarkasme dan Kegagalan Memahami Situasi

Pernyataan Hasan Nasbi ini mengundang pertanyaan besar. Apakah ini bentuk sarkasme yang gagal dipahami publik, atau justru mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi ancaman terhadap kebebasan pers?

Menanggapi insiden yang jelas merupakan bentuk intimidasi dengan sikap yang terkesan bercanda bukan hanya tidak pantas, tetapi juga berbahaya. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi jurnalis dari ancaman nyata yang bisa berujung pada tindakan yang lebih ekstrem.

Di negara yang menjunjung demokrasi, kebebasan pers seharusnya menjadi pilar utama dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas kekuasaan. Namun, ketika seorang pejabat komunikasi kepresidenan justru merespons teror dengan candaan, hal ini memberikan sinyal keliru kepada publik—bahwa tekanan terhadap jurnalis bisa dianggap sepele, bahkan layak ditertawakan.

Kecaman dan Desakan untuk Bertindak

Pernyataan Hasan langsung menuai gelombang kritik. Berbagai organisasi pers, aktivis, dan jurnalis mengecam respons tersebut, menuntut sikap yang lebih serius dari pemerintah. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan bahwa teror terhadap jurnalis adalah bentuk nyata ancaman terhadap demokrasi, dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pers dapat bekerja tanpa rasa takut.

"Kami mendesak pihak berwenang untuk segera mengusut tuntas kasus ini. Teror terhadap jurnalis adalah ancaman bagi kebebasan berbicara dan tidak boleh dianggap enteng," ujar perwakilan KKJ dalam pernyataan resminya.

Sementara itu, Tempo sebagai institusi media tempat Francisca bekerja juga telah melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Namun, apakah kasus ini akan diusut dengan serius atau hanya akan berlalu begitu saja seperti kasus-kasus serupa sebelumnya?

Teror, Kebebasan Pers, dan Tanggung Jawab Pemerintah

Kasus ini bukan hanya tentang satu jurnalis atau satu media. Ini adalah cerminan dari bagaimana pemerintah menangani kebebasan pers di Indonesia. Jika seorang jurnalis yang menerima ancaman seperti ini justru mendapatkan respons berupa candaan dari pejabat negara, maka ini menjadi preseden buruk bagi perlindungan pers di masa mendatang.

Sikap meremehkan seperti yang ditunjukkan oleh Hasan Nasbi seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak. Jika kebebasan berbicara terus-menerus ditekan dan ancaman terhadap jurnalis dianggap sepele, maka tidak menutup kemungkinan praktik kekerasan terhadap jurnalis akan semakin menjadi-jadi.

Indonesia, yang selama ini mengklaim sebagai negara demokrasi, harus menunjukkan bahwa komitmen terhadap kebebasan pers bukan sekadar retorika kosong. Pemerintah, terutama Presiden dan jajarannya, harus segera mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa kasus ini diusut tuntas dan tidak ada lagi intimidasi terhadap jurnalis yang berani menyuarakan kebenaran.

Teror terhadap jurnalis bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga serangan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan kritis. Dan ketika seorang pejabat negara menanggapinya dengan candaan, pertanyaannya adalah: Apakah kita masih bisa berharap pada perlindungan dari mereka yang berkuasa?

(Mond)

#TerorTerhadapJurnalis #Kontroversi #JubirPresiden #HasanNasbi #KepalaBabi