Jumlah Pemudik 2025 Merosot: Daya Beli Melemah, Gelombang PHK Menekan Ekonomi Lebaran
Pemudik melintasi jalur Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/3/2025).
D'On, Jakarta - Tradisi mudik yang selama ini menjadi simbol kegembiraan menyambut Hari Raya Idul Fitri, tahun ini mengalami penurunan signifikan. Survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat jumlah pemudik Lebaran 2025 hanya mencapai 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini menurun drastis, mencapai 24 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang menyentuh 193,6 juta pemudik.
Fenomena ini menjadi indikasi kuat bahwa daya beli masyarakat mengalami tekanan berat. Ekonom sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa pelemahan ekonomi yang dirasakan masyarakat berdampak langsung pada keputusan untuk tidak mudik.
Daya Beli Terpuruk, Mudik Bukan Lagi Prioritas
"Faktor utama dari penurunan jumlah pemudik ini adalah daya beli yang merosot. Banyak masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan, bahkan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga anggaran untuk mudik terpaksa dipangkas," ujar Eko kepada kumparan, Minggu (30/3).
Mudik tidak hanya sebatas biaya transportasi, tetapi juga melibatkan pengeluaran lain seperti belanja oleh-oleh, membeli bingkisan atau hampers, menyediakan makanan khas Lebaran, hingga membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada keluarga di kampung halaman. Semua aspek ini menambah beban finansial bagi masyarakat yang kondisi ekonominya sedang tertekan.
"Jika penghasilan mereka berkurang dan bahkan ada yang kehilangan pekerjaan, jelas bahwa mudik bukan lagi prioritas. Mereka lebih memilih untuk bertahan di kota dengan anggaran yang lebih ketat," tambahnya.
Gelombang PHK: Ancaman Nyata bagi Konsumsi Masyarakat
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga mengidentifikasi bahwa gelombang PHK yang terjadi dalam dua bulan pertama tahun 2025 turut menekan perekonomian, terutama dalam momentum Ramadan dan Idul Fitri. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sepanjang Januari hingga Februari 2025, sebanyak 18.610 orang kehilangan pekerjaan. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan lebih mencengangkan, dengan mencatat lebih dari 60.000 buruh mengalami PHK dari 50 perusahaan dalam periode yang sama. Akibatnya, indikator konsumsi masyarakat menunjukkan tren negatif. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2025 turun sebesar 0,4 persen dibandingkan bulan sebelumnya, suatu anomali yang tidak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Penurunan Indeks Konsumen dan Ritel, Sinyal Bahaya bagi Perekonomian
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2022-2024), IKK selalu mengalami kenaikan di bulan Januari seiring dengan optimisme awal tahun. Namun, tahun ini justru terjadi penurunan. Fenomena serupa juga terjadi pada Indeks Penjualan Riil (IPR), yang mengalami kontraksi dari 222 poin di Desember 2024 menjadi 211,5 poin di Januari 2025.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin pesimistis terhadap perekonomian 2025. Ketika kepercayaan konsumen turun, daya beli ikut tergerus, dan dampaknya terasa pada penurunan penjualan ritel," ujar Huda.
Dampak dari situasi ini terlihat jelas dalam perputaran uang di periode Ramadan dan Idul Fitri. CELIOS mencatat bahwa Tambahan Jumlah Uang yang Beredar (JUB) dalam artian sempit (M1) mengalami penurunan sebesar 16,5 persen dibandingkan tahun lalu. Pada 2024, tambahan uang beredar selama Ramadan dan Idul Fitri mencapai Rp 136,97 triliun, sementara tahun ini hanya Rp 114,37 triliun.
Dampak bagi Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa melemahnya perputaran uang selama momen Lebaran akan berdampak pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Berdasarkan model perhitungan CELIOS, tambahan PDB akibat Ramadan dan Idul Fitri pada 2024 mencapai Rp 168,55 triliun, namun tahun ini hanya Rp 140,74 triliun, turun 16,5 persen.
Tak hanya itu, keuntungan dunia usaha juga anjlok drastis. Tahun lalu, pengusaha meraup tambahan pendapatan hingga Rp 100,83 triliun, sedangkan tahun ini hanya Rp 84,19 triliun. Penurunan ini menandakan bahwa aktivitas ekonomi di sektor konsumsi, yang biasanya meningkat tajam menjelang Lebaran, justru mengalami perlambatan signifikan.
Tabungan Terkuras, Masyarakat Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Salah satu indikator lain yang mengonfirmasi tekanan ekonomi adalah merosotnya porsi simpanan perorangan dalam total Dana Pihak Ketiga (DPK), yang kini hanya mencapai 46,4 persen. Bhima Yudhistira menyoroti bahwa hal ini menandakan masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Pada awal pemerintahan Jokowi-JK, porsi simpanan perorangan masih di angka 58,5 persen, sementara di periode Jokowi-Ma'ruf Amin berada di 57,4 persen. Tahun ini, penurunan hingga 46,4 persen menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi memiliki ruang finansial yang cukup untuk menabung karena upah riil yang stagnan, tunjangan yang menyusut, dan ancaman PHK yang terus menghantui," tegas Bhima.
Kesimpulan: Lebaran 2025, Gambaran Suram Perekonomian Nasional
Lebaran tahun ini menjadi cerminan dari kondisi ekonomi yang semakin menekan masyarakat. Daya beli yang menurun, gelombang PHK yang terus terjadi, serta melemahnya kepercayaan konsumen menjadi faktor utama yang menghambat perputaran ekonomi. Dengan angka-angka yang semakin mengkhawatirkan, tantangan bagi pemerintah dan dunia usaha ke depan adalah bagaimana memulihkan daya beli masyarakat agar perekonomian dapat kembali bangkit.
Apakah tren ini akan terus berlanjut atau ekonomi Indonesia akan menemukan titik baliknya? Jawabannya akan sangat bergantung pada kebijakan ekonomi yang diterapkan dalam beberapa bulan mendatang.
(Mond)
#Mudik #Lebaran2025 #Nasional