KPK Jerat Anggota DPRD dan Kadis PUPR OKU Tersangka Pengaturan Proyek
KPK menampilkan 6 orang sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Ogan Komering Ulu, Sumsel di Gedung KPK, Minggu (16/3/2025).
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap skandal korupsi di daerah. Kali ini, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, pada Minggu (16/3), menyeret enam orang tersangka, mulai dari pejabat eksekutif hingga anggota legislatif daerah. Mereka diduga terlibat dalam rekayasa proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten OKU tahun 2024-2025.
Drama Penangkapan di Gedung KPK
Keenam tersangka tampak digiring keluar dari ruang pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, sekitar pukul 15.47 WIB. Wajah-wajah mereka terlihat tegang saat dibawa menuju ruang konferensi pers. Di hadapan awak media, Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa pihaknya telah menemukan bukti permulaan yang cukup kuat untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
Mereka yang terjerat dalam kasus ini adalah:
- Ferlan Juliansyah – Anggota Komisi III DPRD OKU
- M. Fahrudin – Ketua Komisi III DPRD OKU
- Umi Hartati – Ketua Komisi II DPRD OKU
- Nopriansyah – Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU
- M. Fauzi alias Pablo – Pihak swasta
- Ahmad Sugeng Santoso – Pihak swasta
Modus Korupsi: Legislator Bermain Proyek
Kasus ini berawal dari pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Kabupaten OKU. Sejumlah anggota DPRD OKU diduga meminta jatah proyek sebagai imbalan atas persetujuan anggaran tersebut. Modus yang mereka gunakan cukup klasik: memanfaatkan perusahaan swasta sebagai kedok untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Sembilan proyek yang dikondisikan tersebut berasal dari Dinas PUPR Kabupaten OKU dengan nilai mencapai puluhan miliar rupiah. Untuk menghindari kecurigaan, para anggota dewan ini tidak mengerjakan proyek secara langsung. Sebaliknya, mereka "meminjam bendera" perusahaan milik pihak swasta untuk memenangkan tender dan menggarap proyek tersebut. Dengan cara ini, uang hasil proyek tetap mengalir ke kantong mereka, sementara di atas kertas semuanya terlihat sah.
Jerat Hukum bagi Para Tersangka
Dalam kasus ini, para tersangka dibagi menjadi dua kelompok: penerima suap dan pemberi suap.
-
Bagi pejabat pemerintah dan anggota DPRD sebagai penerima suap, mereka dijerat dengan:
- Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 12 huruf f atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
- Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
-
Sementara pihak swasta sebagai pemberi suap, mereka dijerat dengan:
- Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor,
- Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK langsung melakukan penahanan terhadap keenam tersangka selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan KPK guna kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Korupsi Daerah: Fenomena Berulang
Kasus ini menjadi potret suram bagaimana korupsi di tingkat daerah masih menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas. Praktik bagi-bagi proyek di kalangan legislatif dan eksekutif bukanlah hal baru, terutama dalam pengelolaan anggaran infrastruktur. Dengan nilai proyek yang besar, celah korupsi selalu terbuka bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan akses.
KPK berjanji akan terus menelusuri aliran dana dalam kasus ini, termasuk kemungkinan adanya aktor lain yang terlibat. Masyarakat pun menanti, apakah kasus ini akan membawa efek jera atau justru menjadi satu lagi lembaran hitam dalam catatan panjang korupsi di Indonesia.
(Mond)
#KPK #OTT #Korupsi