KPK Soroti Dugaan Pemotongan Anggaran Program Makan Bergizi Gratis: Dari Rp 10 Ribu, Hanya Tersisa Rp 8 Ribu di Lapangan
Ketua KPK Setyo Budiyanto, saat diwawancarai wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (7/3/2025).
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya laporan dugaan pengurangan anggaran dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan bahwa makanan yang seharusnya bernilai Rp 10 ribu per porsi, pada kenyataannya hanya diterima senilai Rp 8 ribu oleh masyarakat.
Temuan ini disampaikan dalam pertemuan KPK dengan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, beserta jajarannya di Gedung Merah Putih KPK, pada Rabu (5/3). Setyo menegaskan bahwa pengurangan anggaran ini berpotensi berdampak pada kualitas makanan yang diterima oleh penerima manfaat.
"Yang menjadi kekhawatiran, karena posisi anggaran di pusat, jangan sampai begitu sampai di daerah seperti es batu yang mencair," ujar Setyo dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (7/3).
Ia menyoroti bahwa aliran dana yang semakin mengecil saat sampai di tingkat daerah adalah permasalahan klasik dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Kondisi ini berpotensi membuka celah penyimpangan, yang ujungnya merugikan masyarakat, terutama anak-anak dan kelompok rentan yang menjadi target program MBG.
Potensi Penyimpangan dan Tantangan Pengawasan
Dalam pernyataannya, Setyo menegaskan bahwa KPK akan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap program MBG untuk memastikan anggaran digunakan sebagaimana mestinya. Ia mengingatkan bahwa potensi kecurangan dalam program ini tidak bisa dianggap sepele.
"Anggaran yang dikelola sangat besar. Oleh karena itu, pengawasan mutlak diperlukan agar tidak ada penyelewengan," tegasnya.
Setyo juga menyoroti beberapa tantangan dalam pelaksanaan program ini, termasuk:
- Potensi fraud (kecurangan) – KPK menilai bahwa sistem pengawasan dari pusat belum cukup untuk memastikan tidak ada kebocoran di daerah.
- Eksklusivitas dalam penentuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) – Lokasi dan pengelolaan distribusi makanan harus diperhatikan agar tetap layak konsumsi.
- Kualitas bantuan pangan – Ia mencontohkan program sebelumnya yang memberikan susu dan biskuit, namun lebih banyak biskuit yang diterima masyarakat dibandingkan susu, sehingga efektivitasnya dalam menurunkan angka stunting dipertanyakan.
- Kurangnya transparansi keuangan – KPK menekankan bahwa setiap rupiah dalam anggaran harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat.
"Harapannya, program ini dikelola dengan lebih transparan dan akuntabel, termasuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan," imbuh Setyo.
Ia mendorong pemanfaatan teknologi untuk memantau distribusi dan penggunaan anggaran secara real-time. Salah satu opsi yang diajukan adalah kerja sama dengan lembaga independen untuk membantu pengawasan di daerah-daerah terpencil.
BGN: Siap Bekerja Sama dengan KPK dan Lembaga Pengawas
Menanggapi sorotan KPK, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa pihaknya mengelola anggaran yang sangat besar, yakni Rp 70 triliun pada 2025, dengan kemungkinan tambahan Rp 100 triliun pada triwulan ketiga. Ini berarti total dana yang dikelola bisa mencapai Rp 170 triliun.
Dengan skala anggaran yang masif, Dadan menegaskan bahwa BGN sudah berkoordinasi dengan berbagai lembaga pengawas, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Kejaksaan Agung, guna memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program.
"Program ini membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak, termasuk KPK, agar bisa berjalan sesuai harapan dan tepat sasaran," ujar Dadan.
Ia menambahkan bahwa BGN terbuka terhadap inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh KPK untuk memastikan kesesuaian antara sistem tata kelola dengan kenyataan di lapangan.
"Kami siap jika KPK ingin melakukan sidak ke satuan-satuan pelayanan pemenuhan gizi di seluruh Indonesia dan juga ke kantor BGN," katanya.
KPK: Jangan Sampai Anggaran Bocor!
Dalam pertemuan itu, KPK menegaskan pentingnya mencegah kebocoran anggaran sejak dini. Setyo mengingatkan bahwa jika permasalahan ini tidak segera ditangani, maka penyimpangan bisa semakin meluas dan merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
"Jangan sampai nanti sudah terlalu banyak, sudah semakin membesar, sudah terjadi di mana-mana, malah akhirnya menjadi sesuatu yang kontraproduktif," kata Setyo.
Untuk itu, KPK merekomendasikan beberapa langkah strategis, antara lain:
- Penerapan sistem audit digital untuk memastikan setiap transaksi dalam program MBG bisa dilacak.
- Melibatkan NGO dan masyarakat dalam pengawasan, agar transparansi dapat lebih terjaga.
- Penggunaan aplikasi berbasis teknologi untuk memantau distribusi makanan secara langsung dari pusat ke daerah.
Dengan langkah-langkah ini, KPK berharap tidak ada lagi kasus anggaran yang "menguap" dan tidak sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
"Kita ingin pastikan bahwa anggaran yang sudah dialokasikan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," pungkas Setyo.
Kesimpulan: Transparansi adalah Kunci
Dugaan pemotongan anggaran dalam program Makan Bergizi Gratis menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan. Dengan anggaran yang begitu besar, program ini memiliki dampak luas bagi masyarakat, terutama dalam upaya menurunkan angka stunting dan meningkatkan gizi anak-anak Indonesia.
Namun, tanpa tata kelola yang baik dan transparansi yang kuat, program ini berisiko menjadi ladang penyimpangan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. KPK, bersama lembaga pengawas lainnya, berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap rupiah dalam anggaran MBG digunakan sesuai dengan tujuan awalnya: memberikan makanan bergizi bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pertanyaannya kini, apakah pemerintah daerah siap untuk lebih transparan? Ataukah, seperti yang dikhawatirkan KPK, anggaran ini akan terus mencair layaknya es batu yang menghilang sebelum sampai ke tangan penerima manfaat?