Mahmoud Khalil: Aktivis yang Menjadi Simbol Perlawanan Mahasiswa AS terhadap Trump
Foto: Demonstran membawa poster Mahmoud Khalil. (David Dee Delgado / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
D'On, Amerika Serikat - Nama Mahmoud Khalil kini menggema dalam dunia aktivisme di Amerika Serikat. Dari lorong-lorong Universitas Columbia hingga ruang tahanan imigrasi di Louisiana, kisahnya mencerminkan ketegangan yang semakin meningkat antara kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump dan hak-hak kebebasan berbicara di negara yang selalu membanggakan dirinya sebagai benteng demokrasi.
Dalam hitungan minggu, sosok Khalil berubah dari seorang mahasiswa pascasarjana menjadi wajah perlawanan mahasiswa terhadap apa yang mereka anggap sebagai tindakan keras terhadap aktivisme pro-Palestina. Penangkapannya memicu gelombang protes di kampus-kampus, memperdalam perdebatan tentang kebebasan akademik, hak imigran, dan pengaruh kebijakan luar negeri AS terhadap kehidupan individu.
Siapa Mahmoud Khalil?
Mahmoud Khalil lahir di Suriah dari keluarga pengungsi Palestina—takdir yang sejak awal menempatkannya di persimpangan sejarah konflik global. Ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Amerika Lebanon dalam bidang ilmu komputer sebelum mengabdikan diri pada berbagai organisasi nirlaba. Salah satunya adalah Jusoor, sebuah lembaga yang berfokus pada pemberdayaan warga Suriah melalui pendidikan dan pembangunan ekonomi.
Bakat dan dedikasinya membawanya ke posisi penting di Program Chevening Suriah, sebuah inisiatif yang dikelola Kedutaan Besar Inggris di Beirut untuk mendukung pelajar Suriah menempuh pendidikan di Inggris. Namun, perjalanannya kemudian membawanya lebih jauh—ke Amerika Serikat.
Pada tahun 2022, Khalil mendaftar di Sekolah Urusan Internasional dan Publik Universitas Columbia, salah satu institusi paling bergengsi di dunia. Di sanalah ia tak hanya memperdalam wawasan akademiknya, tetapi juga menemukan panggung bagi perjuangannya.
Ia menikahi seorang perempuan Amerika, dan saat ini istrinya tengah mengandung anak pertama mereka, yang dijadwalkan lahir bulan depan. Namun, alih-alih menanti kelahiran anaknya dalam kebahagiaan, Khalil kini menghadapi ancaman deportasi.
Dari Aktivis Kampus ke Target Pemerintah
Di Universitas Columbia, Khalil menjadi sosok sentral dalam gerakan pro-Palestina. Ia berperan sebagai juru runding dalam berbagai protes mahasiswa, berusaha menjaga komunikasi antara pihak universitas dan para demonstran.
Kelompok Columbia University Apartheid Divest (CUAD)—yang menuntut agar universitas memutuskan hubungan keuangan dengan Israel dan menyerukan gencatan senjata di Gaza—menjadi bagian dari gerakan yang ia dukung. Namun, meskipun kelompok pro-Israel menudingnya sebagai pemimpin CUAD, Khalil sendiri membantah keterlibatan strukturalnya dalam organisasi tersebut.
Tindakan keras pemerintah pun datang dengan cepat. Pada 8 Maret, Khalil ditangkap oleh agen imigrasi AS. Pemerintahan Trump, yang telah lama menyuarakan sikap keras terhadap aktivisme pro-Palestina, segera menjadikan kasusnya sebagai contoh. Trump sendiri menyebut Khalil sebagai yang pertama dari "banyak penangkapan yang akan datang."
Trump dan Retorika Anti-Imigrasi
Sejak kembali mencalonkan diri dalam pemilu 2024, Trump semakin vokal dalam menyerang gerakan pro-Palestina di universitas-universitas AS. Ia menuduh para aktivis sebagai simpatisan Hamas, kelompok yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS.
Bagi Trump, kasus Khalil bukan sekadar tentang aktivisme, tetapi soal siapa yang pantas berada di Amerika.
"Ini bukan tentang kebebasan berbicara," ujar Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, salah satu sekutu utama Trump. "Ini tentang orang-orang yang tidak memiliki hak untuk berada di AS sejak awal."
Pemerintahan Trump juga menegaskan bahwa tindakan keras ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menindak apa yang mereka sebut sebagai "pengaruh asing" dalam politik kampus.
Pertarungan Hukum yang Menentukan Masa Depan
Di tengah panasnya perdebatan politik, tim pengacara Khalil kini berjuang keras untuk mencegah deportasinya. Mereka berpendapat bahwa penahanan Khalil merupakan pelanggaran terhadap Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara.
"Jika Amandemen Pertama berarti sesuatu, maka itu berarti pemerintah tidak bisa memenjarakan atau mendeportasi seseorang karena pandangan politik mereka," ujar Ramya Krishnan, seorang pengacara di Knight First Amendment Institute di Columbia.
Namun, kasus ini tidak sekadar tentang hak individu. Banyak ahli hukum menyoroti bagaimana Presiden AS memiliki wewenang luas dalam urusan luar negeri, termasuk kebijakan imigrasi. Hal ini memberikan celah bagi Trump untuk memperluas cakupan deportasi dengan dalih keamanan nasional.
Apakah Khalil akan dideportasi atau tetap tinggal di AS? Itu masih menjadi pertanyaan besar. Sementara tim hukumnya berusaha memindahkannya dari Louisiana kembali ke New York agar bisa mendampingi istrinya menjelang persalinan, pemerintah tetap bersikeras pada posisinya.
Mahmoud Khalil dan Gelombang Protes yang Semakin Besar
Kasus Khalil telah menjadi pemicu gelombang protes yang lebih luas. Ribuan mahasiswa di berbagai universitas, dari Harvard hingga UCLA, turun ke jalan menuntut kebebasan bagi Khalil dan menentang kebijakan Trump.
Lebih dari sekadar seorang aktivis, Khalil kini telah menjadi simbol perjuangan kebebasan berbicara dan hak-hak imigran di Amerika. Apakah perlawanan ini cukup kuat untuk membendung arus keras kebijakan Trump? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
(Mond)
#MahmoudKhalil #Aktivis #AmerikaSerikat #Internasional #DonaldTrump