Breaking News

Mencari Nafas Baru: Upaya Pemerintah Menyelamatkan Mesin dan Pekerja Sritex dari Keterpurukan

Ilustrasi Pegawai Sritex

D'On, Jakarta
– Pemerintah terus berupaya mencari solusi atas keterpurukan industri tekstil Indonesia, terutama setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit. Kini, upaya penyelamatan tidak hanya berfokus pada aspek finansial, tetapi juga pada kelangsungan alat produksi yang masih bisa dimanfaatkan.

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menjajaki kerjasama dengan investor untuk menyewakan mesin-mesin industri tekstil milik Sritex. Langkah ini diambil agar alat-alat produksi tersebut tidak terbengkalai dan tetap dapat digunakan secara optimal.

“Investornya untuk sewa, update terakhir kami dengar ada. Sistemnya sewa. Saya melihat dari sudut pandang kurator, aset itu daripada dibiarkan terbengkalai, mereka melihat ada peluang untuk tetap dipakai,” ujar Yassierli dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (11/3/2025).

Menurutnya, penyewaan mesin kepada investor bukan hanya bertujuan menjaga agar peralatan tersebut tetap berfungsi, tetapi juga untuk mencegah kerusakan yang dapat terjadi akibat lama tidak digunakan.

“Sehingga mesin-mesinnya tidak rusak. Saya melihat ke sana,” tambahnya.

Menjaga Mesin, Menyelamatkan Pekerja

Selain menyelamatkan aset produksi, pemerintah juga berupaya mencari jalan keluar bagi ribuan pekerja Sritex yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bersama serikat pekerja kini tengah melakukan pendataan untuk mengetahui siapa saja dari mantan karyawan Sritex yang siap kembali bekerja.

“Kami sedang mendata bersama serikat pekerja atau serikat buruh untuk mengetahui siapa yang siap bekerja dan kapan?” jelas Yassierli.

Langkah ini menjadi penting mengingat sektor tekstil merupakan salah satu pilar industri nasional yang menyerap banyak tenaga kerja. Dengan adanya skema penyewaan mesin ini, diharapkan pabrik Sritex dapat kembali beroperasi dalam skala tertentu, sehingga membuka kesempatan bagi mantan pekerja untuk kembali mendapatkan pekerjaan.

Insentif Peremajaan Mesin: Momentum yang Tepat?

Dalam kesempatan yang sama, Yassierli juga menyinggung program insentif peremajaan mesin yang telah digulirkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sejak awal tahun 2025. Program ini bertujuan membantu industri tekstil meningkatkan efisiensi dan daya saing dengan mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi optimal.

Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut untuk memastikan efektivitasnya.

“Salah satu solusi terkait industri tekstil adalah insentif peremajaan mesin yang sudah dijalankan sejak awal tahun ini. Kami akan melakukan evaluasi, apakah momentum ini tepat atau justru kita membutuhkan solusi lain?” katanya.

Evaluasi ini akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesiapan industri untuk menyerap insentif tersebut, kondisi ekonomi secara keseluruhan, serta dampaknya terhadap tenaga kerja.

Perjuangan Hak Karyawan: THR Jadi Prioritas

Di tengah upaya menyelamatkan aset dan tenaga kerja, Yassierli juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melupakan hak-hak pekerja yang telah kehilangan pekerjaan mereka. Salah satu perhatian utama adalah pembayaran tunjangan hari raya (THR) bagi mantan karyawan Sritex sebelum Idul Fitri.

Ia menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan kurator serta pemilik Sritex untuk memastikan pekerja mendapatkan hak mereka.

“Kami akan berupaya memperjuangkan THR bagi para pekerja,” tegasnya.

Langkah ini penting untuk memberikan kepastian bagi mantan karyawan yang kini menghadapi situasi sulit setelah kehilangan pekerjaan.

Mampukah Industri Tekstil Bangkit Kembali?

Kasus Sritex menjadi cerminan dari krisis yang tengah melanda industri tekstil nasional. Persaingan ketat dengan produk impor, biaya produksi yang meningkat, serta perubahan tren pasar menjadi tantangan besar bagi sektor ini.

Langkah pemerintah dalam mencari investor untuk menyewa mesin-mesin Sritex bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek yang efektif. Namun, pertanyaannya adalah: apakah langkah ini cukup untuk membangkitkan industri tekstil dalam jangka panjang?

Diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif, mulai dari perlindungan terhadap industri dalam negeri, dukungan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di sektor tekstil, hingga peningkatan inovasi dalam produksi.

Bagi ribuan pekerja Sritex dan keluarganya, harapan masih menggantung. Akankah mereka bisa kembali bekerja? Akankah industri tekstil Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti: perjuangan belum berakhir.

(Mond)

#Sritex #Nasional