Mengungkap Skandal Kapolres Ngada: Kejahatan Luar Biasa yang Tak Boleh Ditutupi
Konfrensi Pers Polda NTT terkait kasus hukum yang menjerat Kapolres Ngada, Selasa (11/02025). (FOTO/Dok. Polda NTT)
D'On, NTT – Sebuah skandal kejahatan seksual yang menggemparkan publik kini tengah mengguncang institusi kepolisian. Kasus ini melibatkan Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan bahkan merekam serta menyebarkan aksi bejatnya ke situs porno luar negeri. Skandal ini bukan hanya mencoreng nama institusi, tetapi juga menguji integritas aparat dalam menegakkan hukum.
Perbedaan Data Korban: Satu atau Tiga?
Dugaan kekerasan seksual yang dilakukan AKBP Fajar Widyadharma Lukman menuai kontroversi sejak awal. Polda NTT menyatakan bahwa hanya ada satu korban berusia enam tahun. Namun, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kota Kupang memiliki data berbeda—menyebutkan ada tiga korban dengan rentang usia 3, 12, dan 14 tahun.
Pelaksana tugas Kepala Dinas P3A Kota Kupang, Imelda Manafe, mengungkapkan bahwa ketiga korban kini berada dalam pengawasan dan pendampingan yang berbeda. Anak berusia 3 tahun masih dalam asuhan orang tua, korban 12 tahun didampingi langsung oleh Dinas P3A, sementara korban 14 tahun belum berhasil ditemui.
"Kasus ini bermula dari laporan pihak berwenang Australia yang mendeteksi adanya unggahan video pornografi anak dari wilayah Kota Kupang. Setelah dilacak, ditemukan bahwa video tersebut diunggah oleh seorang pelaku yang ternyata adalah Kapolres Ngada," jelas Imelda pada Senin (10/3/2025).
Laporan tersebut diteruskan ke Mabes Polri, yang kemudian menindaklanjuti dengan penyelidikan mendalam. Pada 20 Februari 2025, AKBP Fajar resmi ditangkap setelah bukti-bukti kuat mengarah kepadanya.
Jejak Digital yang Mengungkap Kejahatan
Salah satu aspek yang memperberat kasus ini adalah dugaan bahwa pelaku tidak hanya melakukan pencabulan, tetapi juga merekam sendiri perbuatannya menggunakan kamera ponsel dan mengunggahnya ke situs porno Australia. Fakta ini mengindikasikan bahwa kasus ini bukan sekadar kekerasan seksual, tetapi juga kejahatan berbasis digital yang melibatkan distribusi konten eksploitasi seksual anak.
Direktur Reskrimum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, menjelaskan bahwa penyelidikan awal dilakukan berdasarkan surat dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri. Tim kepolisian kemudian menyelidiki lokasi yang diduga menjadi tempat kejadian, yakni sebuah hotel di Kota Kupang.
Hasil penyelidikan menemukan bahwa kamar hotel tersebut memang dipesan atas nama Kapolres Ngada. Sebanyak tujuh saksi telah diperiksa, termasuk pihak hotel dan individu yang memiliki informasi terkait. Pada 14 Februari 2025, penyidik menemukan indikasi kuat keterlibatan tersangka.
Setelah dipanggil dan menjalani interogasi oleh Tim Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT, AKBP Fajar akhirnya mengakui perbuatannya. "Yang bersangkutan memberikan keterangan secara terbuka dan kooperatif. Fakta-fakta yang ada menguatkan keterlibatannya dalam kasus ini," kata Kombes Patar.
Langkah Hukum: Proses Harus Transparan, Jangan ‘Masuk Angin’
Meski telah ada pengakuan dari pelaku, publik menyoroti lambannya proses hukum yang berjalan. Hingga 4 Maret 2025, status kasus ini baru ditingkatkan menjadi penyidikan, tetapi tersangka belum juga ditetapkan.
Koordinator Lembaga Pemerhati Perempuan dan Anak TRUK F, Fransiska Imakulata, mengutuk keras kasus ini dan menuntut agar penegakan hukum dilakukan secara transparan tanpa intervensi. "Ada dua undang-undang yang dilanggar, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelaku tidak hanya melakukan kekerasan seksual secara fisik, tetapi juga mendistribusikan konten eksploitasi anak," tegasnya.
Ia menekankan pentingnya efek jera bagi pelaku dan perlindungan maksimal bagi korban. "Kasus ini tidak boleh berhenti di tengah jalan karena kepentingan tertentu. Kita juga mendorong agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera turun tangan untuk melindungi para korban dan keluarganya. Mengingat pelaku adalah aparat kepolisian, risiko intimidasi sangat mungkin terjadi," tambahnya.
Kejahatan Luar Biasa yang Butuh Hukuman Berat
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa, Dicky Armando, menilai bahwa kasus ini masuk dalam kategori Extraordinary Crime dan The Most Serious Crimes. Oleh karena itu, penanganannya harus lebih serius dan tegas.
"Kapolres Ngada ini tidak hanya melakukan tindak pidana kekerasan seksual, tetapi juga mendistribusikan konten pornografi anak. Ini adalah bentuk kejahatan yang harus dihukum berat. Selain Undang-Undang TPKS, kita bisa menggunakan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE terkait penyebaran konten yang melanggar kesusilaan," jelasnya.
Dicky juga menegaskan bahwa tidak ada alasan pemaaf bagi pelaku, termasuk jika ada klaim bahwa ia dalam pengaruh narkoba. "Narkoba dan kejahatan seksual adalah dua tindak pidana berbeda. Seseorang tidak bisa berlindung di balik alasan penggunaan narkotika untuk mengurangi atau menghapus pidana atas perbuatan keji yang telah dilakukan," tegasnya.
Akan Seperti Apa Akhir dari Kasus Ini?
Kasus ini menjadi ujian besar bagi kepolisian dan sistem peradilan di Indonesia. Apakah hukum akan benar-benar ditegakkan dengan tegas? Ataukah kasus ini hanya akan berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan redup di tengah jalan?
Yang jelas, publik telah menaruh perhatian penuh terhadap skandal ini. Transparansi dan keadilan menjadi harga mati. Jika kasus ini ditangani dengan setengah hati, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum akan semakin runtuh.
Kini, semua mata tertuju pada langkah kepolisian dan kejaksaan. Apakah mereka akan bertindak sesuai janji untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu? Ataukah ini akan menjadi satu lagi kasus yang berlalu tanpa keadilan bagi para korban?
Indonesia menunggu jawaban.
(Mond)
#AKBPFajarWidyadharmaLukman #Polri #Pencabulan #PelecehanSeksual