Modus Bungkus Kain Jarik Kembali Menghantui: Mahasiswa di Kepri Diduga Jadi Target Pelecehan Seksual
Ilustrasi pelecehan seksual pada laki-laki. Foto: tairome/Shutterstock
D'On, Kepri – Modus pelecehan seksual dengan cara membungkus korban menggunakan kain jarik kembali mencuat di Indonesia. Seorang mahasiswa di Kepulauan Riau, berinisial R, mengaku mengalami upaya pelecehan melalui modus yang mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi pada tahun 2020. Saat itu, seorang mantan mahasiswa Universitas Airlangga, Gilang Aprilian atau lebih dikenal sebagai Gilang Bungkus, divonis 5 tahun 6 bulan penjara akibat aksinya yang mengatasnamakan riset akademik.
Kini, modus tersebut kembali muncul. R membagikan pengalamannya melalui media sosial, mengungkap bagaimana ia nyaris menjadi korban. "Saya mulai dihubungi tanggal 3 Maret malam, tepat pada malam pengumuman pemenang kompetisi menulis cerpen nasional yang saya ikuti," ujarnya. Awalnya, ia mengira orang tersebut hanyalah sesama peserta lomba. Namun, perlahan, interaksi itu berubah menjadi sesuatu yang janggal dan mencurigakan.
Dari Penelitian Fiktif hingga Teror Pesan
R mengungkap bahwa orang misterius tersebut mulai menghubunginya melalui media sosial sejak 3 Maret dan terus berusaha berkomunikasi hingga 9 Maret. Awalnya, R mengabaikan pesan-pesan tersebut. Namun, pada 10 Maret pagi, ia akhirnya membalas salah satu pesan, yang ternyata justru menjadi awal dari rangkaian teror yang lebih menyeramkan.
"Pertanyaan pertama yang dia ajukan adalah, ‘Pernahkah praktik pembungkusan jenazah?’," kata R.
Kalimat pembuka yang aneh itu langsung memicu kewaspadaannya. R merasa ada pola yang familiar, mengingat kasus Gilang Bungkus yang sempat menghebohkan publik beberapa tahun lalu. Tak berhenti di situ, pelaku mulai mengirimkan foto-foto korban yang telah dibungkus kain jarik atau diikat tubuhnya.
"Saya terakhir dihubungi tanggal 10 Maret siang, ketika contoh foto korban dikirim kepadaku. Begitu melihat foto itu, saya langsung berhenti membalas pesan-pesannya dan memblokir nomornya. Tapi dia tidak menyerah, dia menggunakan nomor lain untuk menghubungi saya lagi," ungkap R.
Mengincar Lewat Lingkaran Sosial
Setelah dua kali diblokir, pelaku tidak menyerah begitu saja. Ia berusaha mendekati R melalui cara lain menghubungi organisasi yang diikuti korban serta beberapa teman dekatnya. Metode ini semakin mengingatkan pada modus yang digunakan Gilang pada masanya, di mana ia kerap memanipulasi korban dengan alasan penelitian dan terus mengejar mereka meski sudah ditolak.
Namun, yang berbeda kali ini adalah R menolak untuk masuk ke dalam jebakan lebih jauh. Ia memilih untuk membatasi interaksi dan tidak menanggapi upaya pelaku lebih lanjut.
Enggan Melapor, Tapi Berharap Ada Tindakan
Meskipun telah mengalami ancaman psikologis yang cukup intens, R mengaku belum melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian.
"Saya menghindari untuk berhubungan langsung dengan polisi. Meskipun saya penuh harap pihak berwenang segera melakukan tindakan mereka terkait kasus ini. Hanya saja, saya pribadi tidak ingin terlibat secara langsung, karena sistemnya pasti akan ruwet," ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan banyak korban yang kerap merasa bahwa proses hukum di Indonesia bisa menjadi terlalu berbelit dan melelahkan, sehingga memilih untuk tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka.
Sementara itu, media ini telah mencoba menghubungi pengacara Gilang, Sudiro Husodo, untuk menanyakan apakah ada keterkaitan antara kejadian ini dengan kliennya yang kini telah bebas sejak Juni 2024. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak yang bersangkutan.
Fenomena Fetish Bungkus Kain: Masih Mengintai?
Kasus ini kembali membuka diskusi mengenai fenomena fetish yang berujung pada tindakan kriminal di Indonesia. Pada tahun 2020, kasus Gilang Bungkus mengejutkan publik karena pelaku mampu menjalankan aksinya selama bertahun-tahun dengan dalih penelitian akademik. Modus ini memanfaatkan ketidaktahuan dan kepercayaan korban hingga mereka terperangkap dalam skenario yang tidak mereka sadari sebagai bentuk pelecehan seksual.
Kini, dengan munculnya kembali modus serupa, timbul pertanyaan: apakah pelaku lama yang kembali beraksi atau ada individu lain yang meniru pola tersebut? Yang jelas, kasus ini menunjukkan bahwa ancaman serupa masih ada dan bisa menarget siapa saja.
Masyarakat, terutama mahasiswa dan pelajar, diimbau untuk lebih waspada terhadap modus-modus pelecehan berbasis fetish semacam ini. Jika menemukan kejanggalan dalam interaksi online yang mengarah pada ajakan mencurigakan, penting untuk segera mengambil langkah pencegahan, seperti menghindari komunikasi lebih lanjut dan melaporkan ke pihak berwenang.
Kasus ini masih terus berkembang, dan publik menantikan apakah aparat penegak hukum akan segera bertindak sebelum lebih banyak korban berjatuhan.
(Mond)
#PelecehanSeksual #Fetish #KainJarik