Mudik Penuh Derita: Jalan Rusak di Sumpur Kudus, Janji Pemerintah Dipertanyakan!
Jalan Rusak Hambat Pemudik ke Sumpur Kudus, Warga Desak Perbaikan
D'On, Sijunjung, Sumatera Barat – Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 H, ribuan perantau kembali ke kampung halaman mereka di berbagai penjuru Nusantara. Bagi masyarakat Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, tradisi mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi sebuah ritual sakral yang mempertemukan kembali sanak saudara setelah berbulan, bahkan bertahun-tahun terpisah. Namun, di balik kebahagiaan menyambut Idul Fitri, ada satu keluhan yang terus bergema dari para pemudik: infrastruktur jalan yang semakin memprihatinkan.
Salah satu pemudik, Rabbi Fernanda, mahasiswa semester 4 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau, tak dapat menyembunyikan kekecewaannya saat kembali ke kampung halamannya setelah dua tahun merantau. Rabbi yang menempuh perjalanan dari Pekanbaru harus menghadapi kondisi jalan yang penuh lubang, aspal yang terkelupas, dan semak belukar yang mulai mengambil alih bahu jalan.
“Setelah sekian lama tidak mudik, saya sangat antusias untuk pulang ke kampung halaman. Tapi, rasa bahagia itu bercampur dengan kesedihan ketika melihat kondisi jalan yang rusak parah. Ini bukan sekadar ketidaknyamanan bagi pemudik, tetapi juga menyulitkan masyarakat setempat yang harus melewati jalan ini setiap hari,” ungkap Rabbi dengan nada kecewa saat ditemui pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Jalanan yang menghubungkan Sumpur Kudus dengan daerah sekitarnya kini lebih mirip lintasan off-road ketimbang jalur transportasi yang layak. Lubang-lubang menganga, permukaan jalan yang bergelombang, serta minimnya penerangan membuat perjalanan menjadi tantangan tersendiri, terutama di malam hari. Tak hanya kendaraan roda dua dan empat yang kesulitan melintas, bahkan transportasi umum pun kerap enggan mengambil rute ini karena tingginya risiko kerusakan kendaraan.
Bukan hanya pemudik yang kecewa, tetapi juga warga yang setiap hari bergantung pada akses jalan ini untuk aktivitas ekonomi dan sosial. Seorang pedagang sembako di pasar setempat, Murniati (45), mengeluhkan betapa sulitnya distribusi barang dagangan akibat kondisi jalan yang buruk.
“Setiap kali hujan turun, jalan jadi makin susah dilewati. Kadang-kadang, mobil pengangkut barang tidak bisa masuk, sehingga harga bahan pokok di sini bisa lebih mahal dibanding daerah lain. Ini merugikan kami sebagai pedagang, juga menyulitkan pembeli,” ujarnya.
Ironisnya, Sumpur Kudus bukanlah daerah sembarangan. Kampung ini merupakan tanah kelahiran almarhum Buya Syafii Ma’arif, seorang cendekiawan besar dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang pemikirannya banyak memberi inspirasi bagi bangsa. Rabbi menyesalkan bahwa daerah yang memiliki tokoh besar seperti Buya Syafii justru terabaikan dari segi pembangunan infrastruktur.
“Sumpur Kudus adalah bagian dari sejarah dan budaya yang harus dihormati. Sayang sekali jika daerah ini seakan dibiarkan tanpa perhatian serius dari pemerintah. Ini bukan hanya soal kebanggaan kampung halaman, tapi juga hak dasar masyarakat untuk mendapatkan infrastruktur yang layak,” tegasnya.
Jika menilik regulasi, tanggung jawab perbaikan jalan seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan infrastruktur jalan merupakan kewajiban pemerintah daerah maupun pusat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga menegaskan bahwa pemerintah yang lalai dalam menjalankan tugasnya dapat dikenai sanksi.
Masyarakat berharap janji-janji pembangunan yang kerap digaungkan saat musim pemilihan tidak hanya menjadi sekadar slogan tanpa realisasi. Mereka mendesak pemerintah Kabupaten Sijunjung serta Provinsi Sumatera Barat untuk segera turun tangan dan menindaklanjuti perbaikan infrastruktur secara nyata.
“Jangan hanya memberi janji manis, tapi buktikan dengan tindakan. Jalan yang baik bukan hanya soal kenyamanan pemudik, tetapi juga faktor penting dalam peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sepanjang tahun,” pungkas Rabbi dengan penuh harap.
Kini, pertanyaannya bukan lagi sekadar kapan pemudik akan pulang, tetapi juga kapan pemerintah akan benar-benar ‘pulang’ untuk mendengarkan dan menanggapi keluhan rakyatnya. Sebab, sebuah kampung bukan hanya sekadar tempat berakar, tetapi juga cerminan bagaimana negara memperlakukan warganya.
(Mond)
#JalanRusak #SumpurKudus #SumateraBarat