Pelarian Massal di Lapas Kutacane: Jeritan Perut dan Ketimpangan di Balik Jeruji
Momen puluhan napi kabur di Lapas Kutacane, Aceh Senin sore (10/3/2025). Foto: Dok. Istimewa
D'On, Jakarta – Lapas Kelas II B Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, kembali menjadi sorotan tajam. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi pada Senin (10/3), ketika puluhan narapidana melarikan diri dengan cara yang dramatis memanjat atap penjara yang telah penuh sesak melampaui kapasitasnya. Kepolisian Resor Aceh Tenggara melaporkan bahwa 51 napi kabur, sementara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) mencatat angka sedikit lebih rendah, yakni 49 orang.
Kejadian ini mengungkap realitas menyedihkan dalam sistem pemasyarakatan Indonesia: penjara yang penuh sesak hingga tiga kali lipat kapasitasnya dan keluhan napi yang merasa diperlakukan tidak adil, terutama dalam hal jatah makanan.
Lapas Overkapasitas: Dari 100 Jadi 368 Penghuni
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, mengungkapkan fakta mencengangkan mengenai kondisi Lapas Kutacane. Kapasitas resmi lembaga pemasyarakatan ini sejatinya hanya untuk 100 orang, namun saat ini dihuni oleh 368 napi hampir empat kali lipat dari batas ideal.
“Nah, kejadian yang di Kutacane tadi sudah saya sampaikan bahwa kapasitasnya sebenarnya cuma 100 napi, sekarang ada 368 napi,” ujar Agus dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Jakarta Selatan, Selasa (11/3).
Tingginya jumlah penghuni di dalam sel yang sempit ini bukan hanya meningkatkan ketegangan di antara para napi, tetapi juga mempersulit pihak lapas dalam memberikan pelayanan yang layak. Keterbatasan ruang dan sumber daya sering kali menjadi pemicu utama kericuhan dan ketidakpuasan.
Motif Pelarian: Perut yang Kosong dan Ketidakadilan dalam Jatah Makan
Di balik aksi pelarian massal ini, ada satu faktor pemicu utama: ketimpangan dalam pemberian jatah makan. Agus mengungkapkan bahwa para narapidana Lapas Kutacane merasa jatah makan mereka terlalu kecil dibandingkan dengan napi kasus korupsi yang ditahan di lembaga pemasyarakatan khusus.
“Kalau menurut perkembangan sementara, motifnya karena makanan. Mereka meminta jatah makan yang sama dengan napi dari KPK,” ungkap Agus.
Pernyataannya mengarah pada disparitas anggaran makan napi di berbagai lapas. Di Kutacane, napi hanya menerima jatah makan antara Rp 18.000 hingga Rp 22.000 per hari, jumlah yang dinilai tidak mencukupi untuk kebutuhan nutrisi dasar.
“Memang ada beberapa klasifikasi di sini, ada yang Rp 18.000 per hari, ada yang Rp 20.000, ada yang Rp 22.000,” lanjutnya.
Sementara itu, napi kasus korupsi yang berada di lapas khusus mendapatkan jatah makan yang jauh lebih baik. Perbedaan ini memicu keresahan di antara napi umum, yang merasa bahwa negara memberikan perlakuan istimewa kepada napi dari golongan tertentu.
Jeritan dari Balik Jeruji: Potret Buram Sistem Pemasyarakatan
Aksi pelarian massal ini bukan sekadar upaya kabur dari penjara. Ini adalah simbol dari ketidakpuasan mendalam terhadap sistem pemasyarakatan yang dianggap tidak adil. Di satu sisi, overkapasitas menyebabkan kondisi yang tidak manusiawi—satu sel yang seharusnya dihuni dua atau tiga orang justru dijejali lebih dari sepuluh napi. Di sisi lain, perbedaan fasilitas dan jatah makan antar napi semakin memperburuk ketegangan di dalam lapas.
Kondisi ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk reformasi sistem pemasyarakatan di Indonesia. Tanpa perbaikan dalam manajemen lapas, insiden serupa bisa terulang, bahkan dalam skala yang lebih besar.
Kini, aparat kepolisian tengah memburu napi yang kabur, sementara pihak kementerian berjanji untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap kondisi di Lapas Kutacane. Namun, pertanyaan besar yang tersisa adalah: sampai kapan jeritan napi akibat ketidakadilan akan terus bergema dari balik jeruji besi?
(Mond)
#DitjenPAS #Peristiwa #LapasKutacane #TahananKabur