Pengakuan di Bawah Sumpah: Perjalanan Tiga Terdakwa Ladang Ganja di Jantung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Ladang ganja ditemukan di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), tepatnya di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Dok. Polres Lumajang
D'On, Lumajang – Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Lumajang kembali dipenuhi ketegangan saat persidangan lanjutan kasus ladang ganja di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) digelar. Hari itu, tiga terdakwa Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam, dan Bambang bin Narto dipertemukan dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: menjadi saksi satu sama lain di hadapan majelis hakim.
Mengenakan rompi tahanan, mereka berdiri di hadapan kursi hakim. Seperti dalam sidang lainnya, sumpah diambil sebelum kesaksian dimulai. Bambang mengucapkan sumpah dalam Islam, sementara Tomo dan Tono disumpah sesuai kepercayaan Hindu. Dalam suasana yang tegang, setiap kata yang terucap berpotensi menentukan masa depan mereka.
Jejak di Balik Ladang Terlarang
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Redite Ika Septina dengan dua hakim anggota, I Gede Adhi Gandha Wijaya dan Faisal Ahsan, menggali bagaimana ketiga terdakwa bisa terlibat dalam bisnis ilegal ini.
Di hadapan majelis hakim, ketiganya mengungkap satu nama yang menjadi kunci dalam perkara ini: Edi. Sosok yang hingga kini masih buron itu disebut sebagai dalang utama. Ia tak hanya menyediakan bibit ganja tetapi juga menentukan lokasi penanaman serta menyuplai semua kebutuhan, mulai dari pupuk hingga sistem perawatan tanaman.
Bambang, dalam kesaksiannya, mengakui bahwa mereka semua menerima arahan langsung dari Edi. “Mulai dari cara menanam, merawat, hingga memanen, semua dia yang ajarkan,” ujar Bambang. Prosesnya pun tidak instan. Tanaman ganja baru bisa dipanen setelah berusia empat hingga lima bulan.
Ketiga terdakwa juga mengakui bahwa mereka tergiur dengan iming-iming keuntungan besar. Setiap kali turun ke ladang, mereka dijanjikan upah Rp150 ribu. Setelah panen, Edi berjanji akan memberikan Rp4 juta untuk setiap kilogram ganja yang berhasil dipanen. Uang dalam jumlah besar itulah yang membuat mereka berani mengambil risiko, meski berada di kawasan konservasi.
Namun, ada satu hal yang cukup mencengangkan. Meski mereka bertiga tinggal berdekatan bahkan Tono adalah menantu dari Tomo mereka mengaku tidak mengetahui secara persis apa yang dilakukan satu sama lain di ladang ganja itu. Mereka bebas keluar masuk kawasan hutan seolah-olah lahan itu milik mereka sendiri. Yang lebih mengejutkan, mereka juga mengklaim tidak pernah menerima sosialisasi atau pengarahan dari pihak TNBTS mengenai batasan dan larangan di kawasan konservasi.
Sosok Misterius di Balik Ladang Ganja
Sepanjang persidangan, jaksa penuntut Prastyo Pristanto berulang kali menggali lebih dalam tentang peran Edi dalam operasi ini. “Jangan menutup-nutupi. Katakan yang sebenarnya,” ujar Prastyo dengan nada tegas.
Ketiga terdakwa mengakui bahwa mereka merasa lebih percaya diri menjalankan aksi ini karena adanya jaminan perlindungan dari Edi. “Kalau sampai ketahuan, Edi yang akan menanggung segalanya,” ujar Tomo. Pernyataan itu menegaskan bahwa mereka tidak hanya sekadar buruh ladang, tetapi juga pion dalam permainan yang dikendalikan oleh sosok yang hingga kini masih buron.
Di tengah persidangan yang sarat dengan tekanan, ketiga terdakwa tetap didampingi oleh penasihat hukum mereka. Bambang didampingi oleh Feny Yudhiana dari Posko Bantuan Hukum Malang Raya, sementara Tomo dan Tono didampingi oleh Wahyu Firman.
Dua Terdakwa Baru dan Dakwaan Berat yang Mengancam
Selain ketiga terdakwa, PN Lumajang juga menggelar sidang perdana untuk dua terdakwa baru dalam perkara ini. Suwari bin Untung dan Jumaat bin Seneram, yang juga berasal dari Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, harus menghadapi proses hukum yang sama. Agenda sidang yang digelar pada siang hari itu adalah pembacaan surat dakwaan.
Dengan kehadiran dua terdakwa tambahan ini, jumlah total terdakwa dalam kasus ladang ganja TNBTS kini menjadi enam orang. Namun, satu terdakwa, Ngatoyo, telah meninggal dunia, sehingga dakwaannya otomatis gugur.
Keenam terdakwa ini menghadapi jeratan hukum yang tidak main-main. Mereka didakwa dengan Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal ini mengatur tentang larangan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dengan jumlah lebih dari satu kilogram atau lebih dari lima batang pohon. Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman penjara dalam jangka waktu yang sangat lama.
Sidang akan berlanjut pekan depan, 25 Maret 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi. Sementara itu, Edi, sosok yang disebut-sebut sebagai otak di balik operasi ini, masih dalam pelarian.
Kasus ini tidak hanya menggambarkan bagaimana jaringan narkotika beroperasi di kawasan konservasi tetapi juga membuka mata banyak pihak tentang celah pengawasan di hutan lindung. Pertanyaannya kini, apakah Edi akan tertangkap? Dan sejauh mana keterlibatannya dalam jaringan ini? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu mungkin akan terungkap dalam sidang-sidang berikutnya.
(Mond)
#LadangGanja #Narkoba #Hukum