Breaking News

RUU TNI: Perwira Aktif Bisa Isi 14 Jabatan Sipil di Kementerian dan Lembaga, Apa Dampaknya?

Ilustrasi TNI Foto: hanffburhan/Shutterstock

D'On, Jakarta
– Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mencapai tahap krusial dan akan dibahas dalam Sidang Paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam perubahan regulasi ini adalah ketentuan mengenai pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI yang masih aktif berdinas.

Dibandingkan dengan aturan sebelumnya, revisi ini memperluas cakupan perwira aktif yang dapat menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara. Dari yang semula hanya 10 jabatan, kini menjadi 14 posisi strategis yang dapat diisi oleh prajurit aktif.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menegaskan bahwa revisi ini telah melalui diskusi panjang dengan berbagai pihak, termasuk Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan (Kemhan). “Sikap dari Mabes TNI sudah jelas bahwa di luar dari 14 kementerian tersebut, prajurit aktif harus mengundurkan diri atau pensiun,” ujar Dave kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/3).

14 Jabatan Sipil yang Bisa Ditempati TNI Aktif

Dalam draf terbaru RUU TNI, ada 14 jabatan sipil yang diperbolehkan untuk diisi oleh prajurit aktif, yaitu:

  1. Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
  2. Pertahanan Negara, termasuk Dewan Pertahanan Nasional
  3. Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden
  4. Intelijen Negara
  5. Siber dan/atau Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
  7. Pencarian dan Pertolongan (SAR)
  8. Badan Narkotika Nasional (BNN)
  9. Pengelolaan Perbatasan
  10. Penanggulangan Bencana
  11. Penanggulangan Terorisme
  12. Keamanan Laut
  13. Kejaksaan Republik Indonesia
  14. Mahkamah Agung

Awalnya, revisi ini mengusulkan 16 kementerian/lembaga, namun kemudian dipangkas menjadi 14. Salah satu perubahan signifikan adalah penghapusan sektor Kelautan dan Perikanan, serta penyatuan Dewan Pertahanan Nasional ke dalam bidang pertahanan negara.

Pro dan Kontra: Apa yang Diperdebatkan?

Sejak pertama kali muncul dalam pembahasan, revisi ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi, aktivis, dan pakar ketatanegaraan.

Pihak yang mendukung kebijakan ini berargumen bahwa kehadiran prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil dapat memperkuat sinergi antara pemerintah dan militer dalam menghadapi ancaman nasional. Mereka juga menilai bahwa beberapa posisi strategis memang membutuhkan keahlian khusus yang dimiliki oleh personel militer, seperti di bidang intelijen, keamanan laut, dan penanggulangan terorisme.

Namun, di sisi lain, para pengkritik menganggap aturan ini berpotensi mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, yang justru bertentangan dengan semangat reformasi TNI pasca-1998. Mereka khawatir bahwa perluasan peran militer dalam birokrasi sipil dapat mengarah pada dwifungsi TNI gaya baru, yang dalam sejarahnya pernah menjadi alat politik di era Orde Baru.

Pengamat militer dan pertahanan, Aris Santoso, menilai bahwa keputusan ini harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang ketat. “Jika pengawasan longgar, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan dominasi militer dalam birokrasi sipil. Ini yang harus diwaspadai,” ungkapnya.

Peran DPR dalam Pengawasan Implementasi UU

Sebagai lembaga legislatif, DPR berkomitmen untuk mengawasi implementasi dari revisi UU ini agar tetap sesuai dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

“Kita serahkan kepada pemerintah, Mabes TNI, dan Kemhan untuk melaksanakan undang-undang ini dengan sebaik-baiknya. Tapi kami di DPR juga punya tugas untuk memastikan bahwa kebijakan ini berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu memperkuat negara, bukan justru menimbulkan polemik baru,” ujar Dave Laksono.

Apa Dampaknya bagi Reformasi TNI?

Sejak reformasi 1998, salah satu agenda utama yang dijalankan adalah pemisahan peran militer dari ranah sipil. UU TNI tahun 2004 menegaskan bahwa prajurit aktif tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan harus tetap fokus pada pertahanan negara.

Namun, dengan adanya revisi terbaru ini, banyak yang bertanya-tanya apakah ini menjadi langkah mundur atau justru sebuah adaptasi terhadap tantangan zaman.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Bivitri Susanti, menekankan bahwa perlu ada evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan ini. “Jangan sampai revisi ini menjadi pintu masuk kembalinya dominasi militer dalam ranah sipil. Kita harus tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil dalam demokrasi,” katanya.

Revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif mengisi 14 jabatan sipil memang membawa implikasi besar bagi tata kelola pemerintahan dan reformasi militer di Indonesia. Meski bertujuan memperkuat sinergi antara militer dan sipil dalam menangani isu-isu strategis, kebijakan ini tetap harus diawasi ketat agar tidak keluar dari koridor demokrasi.

Dengan Sidang Paripurna DPR yang akan digelar dalam waktu dekat, keputusan akhir terkait regulasi ini akan segera ditentukan. Pertanyaannya, apakah langkah ini akan memperkokoh pertahanan negara atau justru membuka ruang bagi intervensi militer dalam pemerintahan sipil? Jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana aturan ini diterapkan dan diawasi dalam praktiknya.

(Mond)

#RUUTNI #TNI #Nasional