Breaking News

Suriah Kembali Berdarah: 1.454 Tewas dalam Konflik Mematikan, Ratusan Warga Sipil Dibantai

Foto: Suriah (AP/Omar Sanadiki)

D'On, Suriah
- Suriah kembali diguncang gelombang kekerasan baru yang mengarah pada pertumpahan darah massal. Dalam empat hari terakhir, pertempuran sengit antara pasukan pemerintah yang baru berkuasa dan milisi pendukung mantan Presiden Bashar al-Assad telah menyebabkan korban tewas mencapai angka yang mencengangkan: 1.454 orang. Di antara jumlah tersebut, sebanyak 973 warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak, terbunuh dalam serangkaian eksekusi brutal dan pembantaian massal, menurut laporan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (HAM).

Bentrok ini pecah di wilayah pesisir Mediterania, daerah yang selama bertahun-tahun menjadi basis komunitas minoritas Alawite—sekte yang berasal dari Syiah dan merupakan kelompok asal keluarga Assad. Peristiwa ini diawali dari ketegangan di sebuah desa mayoritas Alawite, yang meningkat menjadi insiden berdarah setelah pasukan keamanan menangkap seorang tersangka buronan. Insiden itu memicu amarah kelompok bersenjata loyalis Assad, yang berujung pada baku tembak dan pembalasan brutal terhadap warga sipil.

"Pembunuhan, eksekusi lapangan, dan operasi pembersihan etnis sedang berlangsung setelah bentrokan mematikan antara pasukan keamanan dan orang-orang bersenjata Alawite yang setia kepada presiden terguling Bashar al-Assad," ujar Observatorium Suriah untuk HAM, dikutip dari AFP, Senin (10/3/2025).

Malam-Malam Mencekam: Darah di Jalanan, Teror di Rumah-Rumah

Sejak Kamis, suasana di beberapa kota besar Suriah berubah mencekam. Di Jableh, sebuah kota di antara Latakia dan Tartus, konvoi militer bergerak melewati asap hitam tebal yang mengepul dari rumah-rumah yang dibakar. Rekaman yang beredar di media sosial menunjukkan pasukan keamanan bersenjata lengkap menaiki truk-truk pickup, bergerak dalam formasi siap tempur.

Di kota Baniyas, saksi mata menggambarkan adegan yang lebih mengerikan. Pasukan bersenjata memasuki rumah-rumah penduduk, menyeret para pria ke atap, lalu mengeksekusi mereka satu per satu.

"Mereka mengumpulkan semua pria di atap dan menembaki mereka," ungkap Samir Haidar (67), seorang warga Baniyas yang kehilangan dua saudara laki-lakinya dan seorang keponakan dalam tragedi itu. "Ada orang-orang asing di antara mereka, saya tidak mengenali mereka."

Kementerian Dalam Negeri Suriah mengklaim bahwa operasi militer ini merupakan bagian dari "penyisiran terhadap sisa-sisa rezim yang digulingkan", sementara sumber dari Kementerian Pertahanan menyebut ada bentrokan sengit di desa Tanita, wilayah provinsi Tartus. Namun, pengakuan dari para saksi mata dan gambar-gambar yang beredar di media sosial menunjukkan skala kekerasan yang jauh lebih luas.

Janji Presiden Baru: "Kami Akan Bertanggung Jawab"

Menanggapi tragedi yang mengguncang negeri itu, Presiden Sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, berjanji untuk mengusut tuntas insiden berdarah ini. Dalam pidatonya dari sebuah masjid di Damaskus pada hari Minggu, Sharaa menegaskan bahwa tidak akan ada toleransi terhadap pelaku kekerasan.

"Kami akan meminta pertanggungjawaban, dengan tegas dan tanpa keringanan, siapa pun yang terlibat dalam pertumpahan darah warga sipil... atau yang melampaui kewenangan negara," ujar Sharaa dalam pidatonya, yang disiarkan oleh kantor berita negara SANA.

Ia juga menyerukan persatuan nasional di tengah kekacauan yang semakin memburuk, "Insya Allah, kita akan dapat hidup bersama di negara ini."

Namun, skeptisisme muncul dari berbagai pihak, mengingat latar belakang politik Sharaa. Pemimpin baru ini dikenal sebagai figur utama dari kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—sebuah organisasi yang berakar pada cabang Al-Qaeda di Suriah dan masih terdaftar sebagai kelompok teroris di banyak negara Barat.

Sejak memimpin pemberontakan yang menggulingkan Assad pada Desember lalu, HTS berusaha memoderasi citranya dan berjanji melindungi minoritas agama serta etnis di Suriah. Namun, dengan pecahnya kekerasan terbaru ini, banyak pihak bertanya-tanya: Apakah Suriah benar-benar memasuki era baru, atau hanya berpindah dari satu bentuk kekerasan ke bentuk lainnya?

Dunia Mengecam, PBB dan Liga Arab Mendesak Gencatan Senjata

Di panggung internasional, kecaman datang dari berbagai pihak. Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Volker Turk, menyerukan penghentian segera atas pembantaian warga sipil. Liga Arab, Amerika Serikat (AS), Inggris, serta pemerintahan semi-otonom Kurdi di utara dan timur Suriah juga mengutuk keras tindakan tersebut.

"Praktik-praktik ini membawa kita kembali ke masa gelap yang tidak ingin dialami kembali oleh rakyat Suriah," ujar pernyataan resmi dari pihak Kurdi.

Di sisi lain, komunitas internasional masih ragu apakah pemerintah baru benar-benar memiliki kapasitas untuk mengendalikan situasi. Meskipun pemerintahan Sharaa telah membuka pintu bagi diplomat Barat dan negara-negara tetangga, serta mengupayakan pencabutan sanksi ekonomi, kekacauan yang terus berlanjut dapat menjadi batu sandungan bagi stabilitas jangka panjang.

Sharaa sendiri berjanji bahwa Suriah di bawah kepemimpinannya akan "dibangun berdasarkan aturan hukum", tetapi pertumpahan darah yang terjadi justru menunjukkan bahwa hukum masih jauh dari kata tegak.

Kini, dunia menatap Suriah dengan kecemasan. Apakah konflik ini hanya awal dari perang saudara baru? Ataukah ada harapan untuk rekonsiliasi di tengah abu kehancuran yang ditinggalkan rezim lama?

Satu hal yang pasti: bagi ribuan keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta dalam empat hari terakhir, masa depan Suriah masih diselimuti kabut duka dan ketidakpastian.

(AFP)

#Suriah #Internasional #PerangArab #TimurTengah