Breaking News

Teror Preman Ormas di Industri Minyak Goreng: Pabrik Dipalak, Ulang Tahun pun Dibiayai

Ilustrasi 

D'On, Jakarta
- Industri minyak goreng di Indonesia tak hanya menghadapi tantangan bisnis dan regulasi, tetapi juga ancaman dari aksi premanisme yang kian meresahkan. Sejumlah perusahaan minyak goreng harus menghadapi tekanan dari oknum organisasi masyarakat (ormas) yang meminta berbagai bentuk "sumbangan," mulai dari uang operasional hingga dana untuk merayakan ulang tahun kelompok mereka.

Fenomena ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. Menurutnya, hampir semua produsen minyak goreng di Tanah Air menghadapi gangguan serupa, terutama yang beroperasi di daerah. Preman-preman berkedok ormas ini tidak segan-segan menekan perusahaan agar memberikan uang, bahkan dengan dalih sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

"Di berbagai lokasi pabrik, gangguan dari organisasi komunitas setempat itu ada. Itu sudah seperti budaya. Pengusaha biasanya memilih melayani mereka, menganggapnya sebagai bagian dari CSR saja," kata Sahat pada Jumat (14/3/2025).

Namun, pemerasan ini tidak berhenti pada permintaan sumbangan biasa. Oknum-oknum ormas tersebut kerap membawa surat resmi dan mendatangi perusahaan dengan tuntutan dana yang harus diberikan. Jika permintaan ini tidak dipenuhi, mereka bisa melakukan intimidasi yang berujung pada terganggunya operasional perusahaan.

"Setiap ada event, pasti ada yang datang meminta. Bahkan ketika ormas itu ulang tahun pun, mereka datang minta dana. Mereka bisa bawa surat resmi. Kalau ditolak, bisa jadi masalah. Daripada ribut, biasanya perusahaan memilih untuk memberikan saja, ala kadarnya," tambah Sahat.

Investasi Asing Enggan Masuk, Indonesia Kehilangan Peluang

Dampak dari praktik pemalakan ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan lokal, tetapi juga berimbas pada iklim investasi di Indonesia. Sahat mengungkapkan bahwa perilaku semacam ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat investor asing enggan menanamkan modalnya di sektor industri minyak nabati di Indonesia.

"Investor asing melihat kondisi ini dan jadi berpikir ulang. Kalau mereka masuk ke sini dan menghadapi situasi seperti ini, tentu saja mereka akan merasa ragu," ungkapnya.

Perusahaan asing, menurut Sahat, cenderung lebih tegas dalam menghadapi aksi premanisme semacam ini. Berbeda dengan perusahaan lokal yang lebih memilih jalur kompromi demi kelancaran usaha, perusahaan asing biasanya tidak segan-segan menolak permintaan semacam ini.

"Kalau perusahaan asing, mereka tidak akan meladeni aksi seperti ini. Mereka pasti keras. Kalau sudah begitu, bisa-bisa mereka malah enggan berinvestasi sama sekali," jelasnya.

Padahal, industri minyak nabati di Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investasi asing. Namun, maraknya aksi premanisme yang menekan perusahaan justru menciptakan citra buruk bagi dunia usaha di Tanah Air.

Panggilan untuk Pemerintah: Hukum Harus Tegas

Menghadapi fenomena ini, GIMNI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dan tegas dalam menertibkan aksi premanisme berkedok ormas ini. Regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang kuat dinilai bisa menjadi solusi utama untuk mengatasi permasalahan ini.

"Harapannya, pemerintah harus bertindak tegas. Mereka harus mengajari masyarakat agar tertib hukum," ujar Sahat.

Salah satu langkah yang disarankan adalah dengan menerapkan aturan ketat terkait akses ke kawasan industri. Menurutnya, perusahaan harus memiliki hak penuh untuk melarang siapapun masuk tanpa izin yang sah.

"Kalau sudah ada regulasi yang melarang siapapun masuk tanpa izin, ini akan jauh lebih baik. Perusahaan harus memiliki perlindungan dari gangguan semacam ini," katanya.

Namun, Sahat menyadari bahwa perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Diperlukan pendekatan yang lebih luas, termasuk edukasi bagi masyarakat agar memahami pentingnya dunia usaha tanpa tekanan premanisme.

"Perubahan ini tidak bisa dilakukan secara drastis. Harus ada edukasi. Jangan langsung dipaksa begitu saja. Harus ada pendekatan bertahap supaya masyarakat lebih tertib," tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa akar permasalahan ini bukan sekadar kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi juga mentalitas sebagian kelompok yang ingin mendapatkan uang dengan cara instan dan mudah.

"Banyak dari mereka lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang daripada bekerja keras. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga pola pikir yang harus diubah," pungkas Sahat.

Harapan ke Depan: Perubahan Sistemik untuk Dunia Usaha yang Lebih Sehat

Fenomena pemalakan oleh oknum ormas ini mencerminkan tantangan besar dalam dunia usaha di Indonesia. Jika terus dibiarkan, bukan hanya perusahaan lokal yang akan mengalami kerugian, tetapi juga daya saing investasi Indonesia secara global.

Penegakan hukum yang lebih ketat, regulasi yang jelas, serta edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci untuk menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan bebas dari tekanan premanisme. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengubah budaya yang telah lama mengakar ini, demi memastikan bahwa dunia usaha di Indonesia dapat berkembang tanpa ancaman dan intimidasi.

(Mond)

#OrmasTukangPalak #Pungli #Nasional