Tragedi di Balik Seragam: Perwira Polisi di Kalbar Divonis 9 Tahun Penjara atas Kasus Pelecehan Anak
Ilustrasi
D'On, Kayong Utara, Kalimantan Barat – Sebuah kasus yang mencoreng institusi kepolisian kembali mencuat ke publik. Seorang perwira polisi yang bertugas di Polres Kayong Utara, Kalimantan Barat, divonis 9 tahun penjara setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap seorang asisten rumah tangga (ART) berusia 17 tahun dan anak angkatnya yang masih berusia 11 tahun.
Putusan ini dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang pada 4 Maret 2025, dalam persidangan yang menjadi sorotan masyarakat. Selain hukuman penjara, terdakwa juga dikenakan denda sebesar Rp 2,9 miliar, dengan ketentuan jika tidak dibayar, maka akan digantikan dengan hukuman 3 bulan kurungan tambahan.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Kasus ini bermula dari laporan korban dan keluarganya, yang mengungkap tindakan bejat terdakwa yang notabene merupakan seorang aparat penegak hukum. Tidak hanya melakukan pelecehan terhadap korban yang masih di bawah umur, terdakwa juga diduga melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus ini, Arief Wirawan, menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya telah menuntut hukuman yang lebih berat, yakni 11 tahun penjara, dengan denda yang sama, yakni Rp 2,9 miliar, serta subsidair 3 bulan kurungan. Namun, majelis hakim akhirnya memutuskan 9 tahun penjara.
"Terdakwa mengajukan banding, jadi kami pun ikut mengajukan banding," ujar Arief dalam pernyataannya pada Minggu, 16 Maret 2025. Langkah banding ini menunjukkan bahwa jaksa masih berupaya agar hukuman yang dijatuhkan lebih sesuai dengan tuntutan awal.
Dampak Psikologis dan Sosial
Kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik kepolisian, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Seorang anak berusia 11 tahun yang seharusnya menjalani masa kecil dengan kebahagiaan justru harus mengalami pengalaman yang mengerikan. Begitu pula dengan ART berusia 17 tahun yang harus menghadapi kenyataan pahit di usia yang masih belia.
Tak hanya korban, masyarakat juga merasa marah dan kecewa terhadap perilaku aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan malah menjadi ancaman. Kepercayaan publik terhadap kepolisian kembali dipertaruhkan, mengingat kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum aparat sering kali berujung pada hukuman yang dianggap terlalu ringan.
Tuntutan Keadilan dan Reformasi di Kepolisian
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap anak dan perempuan harus semakin diperketat, terutama dari ancaman yang justru datang dari pihak-pihak yang memiliki wewenang. Reformasi dalam institusi kepolisian menjadi sorotan, agar tidak ada lagi oknum yang menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindakan kriminal.
Masyarakat kini menunggu hasil banding yang diajukan jaksa. Apakah hukuman terdakwa akan diperberat, ataukah tetap pada putusan awal?
Satu hal yang pasti, tragedi ini adalah alarm keras bagi penegakan hukum di Indonesia: bahwa tak ada seorang pun, bahkan aparat penegak hukum sekalipun, yang boleh kebal dari hukum.