Breaking News

Vonis Bebas Polisi dalam Kasus Pencabulan Anak: Kejanggalan di Balik Putusan Hakim yang Memicu Polemik

Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock

D'On, Jayapura
 – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jayapura yang membebaskan seorang polisi berpangkat Brigadir Dua (Bripda) berinisial AFH dalam kasus pencabulan anak di Keerom, Papua, telah mengundang gelombang reaksi keras dari berbagai pihak. Majelis Hakim yang diketuai Zaka Talpatty, dengan dua anggota Korneles Waroi dan Ronald Lauterboom, memutuskan bahwa AFH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Namun, di balik vonis bebas tersebut, berbagai pertanyaan besar muncul. Apakah keadilan benar-benar ditegakkan? Ataukah ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum terkait kejahatan seksual terhadap anak?

Dakwaan: Kesaksian Anak yang Dikesampingkan oleh Hakim

Kasus ini bermula dari peristiwa yang terjadi pada tahun 2022. AFH, yang saat itu berpacaran dengan kakak korban, datang ke rumah korban sekitar pukul 20.00 WIT. Saat itu, korban—yang baru berusia lima tahun—ikut menemani kakaknya berbincang dengan AFH di sebuah kedai yang masih berada dalam lingkungan rumah mereka.

Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), ketika kakak korban meninggalkan tempat untuk membeli sesuatu di kios, AFH diduga berpindah tempat duduk ke sebelah korban. Dengan cepat, ia menutup mulut korban dan melakukan kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Dakwaan ini diperkuat oleh keterangan korban yang disampaikan kepada kakaknya, yang kemudian diteruskan kepada orang tua. Namun, dalam persidangan, AFH membantah semua tuduhan tersebut. Ia mengklaim bahwa ia hanya memelototi korban karena mencoba mengambil telepon genggam kakaknya.

JPU menuntut AFH dengan pidana penjara selama 12 tahun serta denda sebesar Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan, merujuk pada Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Namun, Majelis Hakim memutuskan bahwa tidak ada cukup bukti yang menguatkan tuduhan terhadap AFH. Putusan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa sebuah vonis hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat minimal dua alat bukti yang sah.

“Kesaksian korban merupakan satu-satunya alat bukti dalam perkara ini, sementara alat bukti lainnya tidak cukup untuk membuktikan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan,” ujar hakim dalam putusannya.

Dengan pertimbangan ini, hakim menyatakan bahwa AFH harus dibebaskan dari semua dakwaan dan diperintahkan untuk segera keluar dari tahanan.

Reaksi Keras DPR: Ada Ketidakberesan dalam Putusan Hakim?

Vonis bebas AFH segera menuai sorotan. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, dengan tegas menyatakan bahwa putusan ini merupakan tamparan bagi penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.

“Kasus ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih belum berpihak kepada korban, terutama anak-anak yang merupakan kelompok rentan. Keputusan ini juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan,” ujarnya.

Andreas menilai bahwa pengadilan seharusnya mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota kepolisian. Seorang polisi, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru didakwa melakukan tindakan yang mencoreng institusi kepolisian. Namun, dengan vonis bebas ini, sistem peradilan malah dianggap gagal memberikan perlindungan bagi korban.

“Ketika seorang aparat negara terlibat dalam kejahatan serius seperti ini, tetapi justru mendapatkan vonis bebas, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa hukum ditegakkan secara adil?” tambahnya.

Ia juga mendesak agar Komnas HAM serta berbagai lembaga terkait turun tangan dalam mengawal kasus ini.

Perdamaian yang Dicabut: Indikasi Tekanan terhadap Keluarga Korban?

Salah satu aspek yang menambah kompleksitas kasus ini adalah adanya upaya penyelesaian secara damai antara keluarga korban dan pihak terdakwa pada tahun 2023. Saat itu, pihak AFH disebut telah memberikan kompensasi sebesar Rp 80 juta untuk biaya pengobatan korban yang mengeluhkan sakit. Kesepakatan ini difasilitasi oleh Polres Keerom.

Namun, beberapa waktu kemudian, ibu korban justru menerima laporan bahwa dirinya difitnah oleh keluarga AFH. Hal ini memicu keluarga korban untuk kembali membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

Keputusan keluarga untuk membatalkan kesepakatan damai dan melanjutkan proses hukum memunculkan spekulasi: Apakah ada tekanan yang dialami keluarga korban sebelumnya? Ataukah ada unsur manipulasi dalam penyelesaian damai tersebut?

Preseden Berbahaya bagi Kasus Kekerasan Seksual Anak

Putusan bebas terhadap AFH menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Jika kesaksian anak sebagai korban dianggap tidak cukup kuat tanpa adanya saksi lain, maka bagaimana nasib ribuan korban pelecehan seksual yang sering kali mengalami kejadian ini tanpa kehadiran saksi langsung?

Para aktivis perlindungan anak menilai bahwa vonis ini bisa menjadi celah hukum bagi pelaku kekerasan seksual untuk lolos dari jeratan hukum. Mereka juga menyoroti bahwa sistem peradilan di Indonesia masih terlalu kaku dalam menerapkan standar pembuktian bagi kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak.

“Banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi tanpa saksi langsung karena sifat perbuatannya yang tertutup. Jika sistem hukum hanya mengandalkan kesaksian lebih dari satu orang, maka banyak pelaku bisa lolos dari jerat hukum,” ujar seorang aktivis perlindungan anak yang enggan disebut namanya.

Jaksa Ajukan Kasasi: Upaya Mencari Keadilan bagi Korban

Merespons putusan hakim, JPU segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Langkah ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.

“Keputusan ini tidak hanya merugikan korban dan keluarganya, tetapi juga menciptakan preseden berbahaya dalam sistem peradilan kita. Kami yakin masih ada jalan untuk mencari keadilan,” ujar JPU dalam pernyataan resminya.

Sementara itu, publik menantikan langkah selanjutnya dari Mahkamah Agung. Apakah kasasi ini akan mengubah putusan sebelumnya? Ataukah vonis bebas ini akan tetap berlaku, menegaskan bahwa sistem hukum kita masih jauh dari sempurna dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak?

Yang jelas, kasus ini telah menjadi pengingat keras bahwa perjuangan untuk melindungi hak-hak anak di Indonesia masih panjang.

(Mond)

#Pencabulan #Polisi #KekerasanSeksual #KekerasanSeksualTerhadapAnak