Breaking News

20 Guru Non-ASN di Padangpariaman “Dibuang” Setelah Dinyatakan Lulus Seleksi PPPK: Harapan Pupus di Tengah Janji Negara

Sebanyak 20 guru yang TMS tanpa kejelasan melakukan audiensi dengan Bupati Padangpariaman, John Kenedy Azis, serta Sekkab Rudy Repenaldi Rilis. (Foto Dok Sukri Hamdani/padek)

D'On, Padangpariaman
– Sebanyak 20 guru honorer di Kabupaten Padangpariaman, Sumatra Barat, tengah dirundung kekecewaan mendalam. Mereka bukan hanya kehilangan kesempatan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetapi juga merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya menjamin keadilan dan kepastian bagi pengabdi pendidikan.

Awalnya, pada 18 Februari 2025, mereka menerima kabar gembira: dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) dalam seleksi administrasi PPPK tahap II berdasarkan pengumuman resmi bernomor 800/553/BKPSDM-2025. Namun, harapan itu berubah menjadi kekecewaan ketika, sebulan kemudian, tepatnya 19 Maret 2025, status mereka berubah menjadi Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Perubahan ini diumumkan melalui surat nomor 800/708/BKPSDM-2025  tanpa penjelasan yang memadai.

“Ini seperti mimpi buruk,” kata Sukri Hamdani, salah satu guru terdampak yang telah mengabdi selama 14 tahun. “Nama saya ada di urutan ke-269 dalam pengumuman awal. Kami sudah lulus, tapi tiba-tiba dicoret, tanpa alasan jelas. Kami benar-benar kecewa.”

Masalah Sistemik: Ketidaksesuaian Data dan Minimnya Koordinasi

Rasa kecewa para guru ini bukan sekadar karena perubahan status, melainkan juga karena alasan yang disebutkan pihak pemerintah daerah dinilai tidak sesuai dengan regulasi pusat. Mereka sebelumnya merupakan guru di jenjang SMA di bawah kewenangan provinsi. Namun, seiring kebijakan peralihan tugas, mereka dialihkan ke jenjang SD dan SMP, yang berada di bawah kendali kabupaten.

Pemerintah Kabupaten Padangpariaman berdalih bahwa perpindahan tersebut menyebabkan mereka tidak tercatat berlanjut di Data Pokok Pendidikan (Dapodik)  sebuah sistem administrasi utama Kemendikbudristek. Alhasil, status MS yang semula diberikan pun dibatalkan, dan digantikan dengan TMS.

Namun, di sinilah titik krusial muncul. Dalam surat resmi Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek nomor 5591/B.B1/GT.01.03/2024 tertanggal 14 Desember 2024, ditegaskan bahwa ketidaksesuaian data akibat perpindahan instansi tidak dapat menjadi alasan untuk menggugurkan peserta, asalkan masa kerja tetap sesuai ketentuan.

Pusat bahkan memberikan solusi: pemerintah daerah diminta mengajukan nama-nama guru terdampak melalui sistem Ruang Talenta Guru (RTG), dengan menyertakan Surat Pertanggungjawaban Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani kepala daerah.

Namun, menurut para guru, upaya itu belum dijalankan sepenuhnya oleh pihak daerah.

Audiensi Tanpa Kepastian, Janji Tanpa Tindak Lanjut

Para guru telah dua kali menggelar audiensi: pertama pada 24 Maret 2025 dan kedua pada 10 April 2025. Mereka bertemu langsung dengan Bupati Padangpariaman, Sekretaris Daerah Rudy Repenaldi Rilis, perwakilan BKPSDM, dan Dinas Pendidikan. Namun, hasilnya nihil. Tak ada keputusan, tak ada kejelasan.

“Jawaban mereka cuma ‘kami indak tahu tentang itu doh’. Ini menyakitkan. Kami bukan orang baru, kami sudah belasan tahun mengabdi, mendidik anak-anak di pelosok. Tapi kenapa hak kami diperlakukan seperti ini?” ungkap Sukri, yang kini mengajar di SDN Sungai Garinggiang.

Sekda Rudy Repenaldi mengakui bahwa verifikator menemukan adanya jeda masa kerja saat para guru berpindah instansi. Menurutnya, bukti amprah gaji di sekolah baru tidak dapat ditunjukkan, dan laporan itu menjadi dasar keluarnya status TMS.

Namun, ia juga menyebut bahwa pihaknya masih menunggu tanggapan dari kementerian dan akan menindaklanjuti jika ada arahan lebih lanjut.

Cermin Buram Tata Kelola ASN di Daerah

Kasus ini menjadi gambaran nyata lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Di tengah usaha negara meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru, justru terjadi ketimpangan dalam implementasi kebijakan. Hak guru bisa hilang begitu saja karena kesalahan administratif dan kurangnya inisiatif dari pemerintah daerah.

Dampaknya bukan hanya pada aspek teknis, tapi juga pada martabat profesi guru. Mereka yang seharusnya dihormati karena dedikasinya, justru harus berjuang keras hanya untuk memperoleh pengakuan yang seharusnya datang otomatis.

Harapan Masih Menyala

Para guru berharap keputusan TMS mereka dapat ditinjau ulang. Mereka mendesak agar pemerintah daerah segera menggunakan jalur RTG sebagaimana diatur oleh Kemendikbudristek. Mereka juga ingin agar kepala daerah menunjukkan keberpihakan dan komitmen terhadap nasib para guru yang telah lama mengabdi di lapangan.

“Kami bukan minta dimuliakan, kami hanya minta diperlakukan adil,” tutup Sukri.

Jika suara mereka tak didengar, bukan tidak mungkin ribuan guru di daerah lain akan mengalami hal serupa. Dan saat itu terjadi, proses seleksi PPPK yang seharusnya menjadi solusi justru bisa menjadi sumber luka baru bagi dunia pendidikan Indonesia.

(Mond)

#PadangPariaman #PPPK #GagalPPPKSetelahLulusAdministrasi