Breaking News

Alek Bakajang: Tradisi Bahari yang Menyambung Warisan dan Silaturahmi di Nagari Gunung Malintang

Acara Alek Bakajang di Nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota

Dirgantaraonline
- Di balik keelokan alam Sumatra Barat, tersembunyi kekayaan budaya yang terus dijaga dan diwariskan lintas generasi. Salah satunya adalah tradisi Alek Bakajang, sebuah warisan budaya yang hidup dan tumbuh di Nagari Gunung Malintang, Kabupaten Limapuluh Kota. Lebih dari sekadar seremoni, Alek Bakajang merupakan jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara sejarah nenek moyang dan modernitas yang merangkul perubahan tanpa melupakan akar.

Jejak Sejarah dan Makna Sakral

Alek Bakajang bukanlah perayaan biasa. Ia lahir dari penghormatan mendalam terhadap leluhur yang telah berjasa membangun dan memajukan nagari. Dalam tradisi ini, masyarakat Nagari Gunung Malintang mengenang perjuangan para pendahulu yang gigih mengolah tanah, menata kehidupan sosial, dan menjaga adat istiadat.

Tradisi ini bermula dari sebuah kegiatan sederhana, sebagai bentuk pelepasan penat setelah masa panen. Dahulu, selepas jerih payah di sawah dan ladang, masyarakat berkumpul di tepian sungai untuk bersuka ria. Mereka menaiki perahu-perahu kecil, bersenda gurau, dan merayakan hasil bumi dengan penuh syukur. Namun seiring waktu, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah festival budaya yang sarat nilai estetika, simbolisme, dan kearifan lokal.

Kajang: Dari Daun Kering hingga Kapal Pesiar

Istilah "Bakajang" berasal dari kata "kajang," yang merujuk pada atap dari daun kering yang dirakit dengan rotan, digunakan oleh nenek moyang untuk melindungi diri dari hujan dan terik matahari saat berada di atas sampan. Perahu yang menggunakan atap ini dikenal sebagai perahu kajang.

Namun, seiring berjalannya waktu, bahan-bahan alami untuk membuat kajang semakin sulit ditemukan. Masyarakat Gunung Malintang pun melakukan adaptasi—baik dari segi bahan maupun konsep. Mereka tidak lagi menggunakan perahu tradisional beratap daun, tetapi menggantinya dengan perahu-perahu modern dan bahkan kapal pesiar. Nama kegiatan pun mengalami transformasi: dari "berkajang" menjadi "Bakajang," yang secara harfiah berarti berlayar dengan perahu kajang.

Sungai Batang Mahat: Nadi Transportasi dan Silaturahmi

Dalam sejarah Nagari Gunung Malintang, Sungai Batang Mahat bukan sekadar aliran air. Ia adalah urat nadi kehidupan, jalur utama transportasi sebelum kehadiran jalan raya. Di masa lalu, sungai ini menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain, menjadi tempat bertemunya suku dan golongan, serta sarana utama untuk bersilaturahmi terutama saat hari raya.

Bahkan dalam bahasa Melayu kuno, "kajang" juga bermakna "sampan" atau perahu kecil, yang digunakan masyarakat untuk mengarungi sungai, mengunjungi sanak saudara, dan menjalin persaudaraan. Tradisi ini, meski kini telah dimodernisasi, tetap menyimpan semangat persatuan, kekeluargaan, dan penghormatan terhadap alam.

Alek Bakajang Masa Kini: Festival, Budaya, dan Wisata

Kini, Alek Bakajang telah menjelma menjadi festival budaya tahunan yang dinantikan banyak pihak. Tak hanya warga lokal, wisatawan domestik dan mancanegara pun ikut menikmati keunikan acara ini. Perahu-perahu yang dihias megah, parade budaya, musik tradisional, serta atraksi seni menjadi bagian dari kemeriahan.

Festival ini juga mempertemukan berbagai unsur masyarakat: dari niniak mamak (pemuka adat), pemuda, pemerintah nagari, hingga warga biasa. Semuanya bersatu dalam semangat gotong-royong, menjadikan Alek Bakajang sebagai simbol kohesi sosial dan identitas budaya yang kuat.

Selain mempererat silaturahmi, Alek Bakajang menjadi wadah ekspresi seni, pelestarian nilai-nilai tradisional, dan media edukasi budaya bagi generasi muda. Festival ini juga mendorong potensi pariwisata lokal, membuka peluang ekonomi, dan memperkenalkan kekayaan budaya Minangkabau ke mata dunia.

Jadwal Festival 2025: Sambut Perahu Budaya di Sungai Batang Maek

Pada tahun 2025, Festival Alek Bakajang kembali hadir memeriahkan Sungai Batang Maek. Dijadwalkan berlangsung pada tanggal 3 hingga 7 April 2025, festival ini akan mengusung tema "Berlayar Menyusuri Warisan, Menyambung Silaturahmi Nusantara." Selama lima hari, sungai akan dipenuhi perahu-perahu hias, pertunjukan seni tradisional, bazar kuliner lokal, serta berbagai kompetisi budaya.

Tak sekadar tontonan, Alek Bakajang mengajak semua pihak untuk merasakan denyut sejarah, merayakan keberagaman, dan membangun masa depan berbasis akar budaya.

Di tepian Sungai Batang Maek, di antara riak air dan nyanyian alam, Alek Bakajang bukan hanya tradisi. Ia adalah napas panjang dari sejarah, cinta, dan harapan masyarakat Gunung Malintang untuk terus menyatu dalam adat dan kebersamaan.

(Mond)

#AlekBakajang #Bakajang #Tradisi #SumateraBarat