Breaking News

Identitas Korban Pemerkosaan Dokter Priguna Tersebar, Trauma Mendalam dan Desakan Hukuman Berat Mengemuka

Ilustrasi Kekerasan seksual 

D'On, Bandung
FH, seorang mahasiswi berusia 21 tahun, kini hidup dalam bayang-bayang trauma mendalam usai menjadi korban pemerkosaan oleh seorang dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pelaku, yang diketahui bernama Priguna Anugerah Pratama (31), tak hanya menghancurkan masa depan korban lewat perbuatannya, tetapi juga membuat luka itu semakin dalam dengan tersebarnya identitas lengkap FH di ruang publik.

Identitas Tersebar, Korban Semakin Terpuruk

Kondisi psikologis FH kian memburuk usai insiden pemerkosaan yang dialaminya. Namun penderitaan itu belum usai. Dalam beberapa waktu terakhir, nama lengkap, usia, hingga latar belakang pendidikan FH tersebar luas di media sosial dan sejumlah forum digital. Hal ini memperparah tekanan mental yang dialami korban. Kuasa hukum FH dari Jabar Bantuan Hukum, Debi Agusfriansa, mengungkapkan bahwa korban mengalami tekanan luar biasa dan merasa seolah tidak lagi memiliki ruang aman di manapun.

“Identitas lengkap korban yang tersebar itu bukan hanya bentuk pelanggaran privasi, tapi juga memperlihatkan bagaimana sistem kita masih belum mampu melindungi korban kekerasan seksual dengan maksimal,” ujar Debi dalam konferensi pers yang digelar di Kota Bandung, Sabtu (12/4/2025).

Desakan Pidana Maksimal: “Ini Kejahatan Luar Biasa”

Dalam keterangannya, Debi menegaskan bahwa tindakan pelaku bukanlah kejahatan biasa. Menurutnya, pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter profesi yang seharusnya menjadi simbol perlindungan dan kepercayaan merupakan bentuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.

“Atas dasar itu, kami mendorong agar penegak hukum tidak hanya menjatuhkan hukuman sesuai pasal dasar, tetapi juga mempertimbangkan pemberatan pidana,” tegasnya.

Saat ini, Priguna dijerat dengan Pasal 6 huruf c dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Namun, karena pelaku adalah seorang tenaga medis, Debi menekankan bahwa berdasarkan Pasal 15 huruf b UU TPKS, pidana dapat ditambah sepertiga dari ancaman awal. Dengan begitu, Priguna bisa menghadapi hingga 16 tahun penjara.

“Kami minta agar pasal pemberatan ini benar-benar diterapkan dalam tuntutan nantinya di pengadilan. Ini akan menjadi sinyal kuat bahwa negara berpihak pada korban, terutama yang berasal dari kelompok rentan,” tambahnya.

Tak Ada Ruang Damai untuk Kejahatan Seksual

Debi juga menanggapi beredarnya isu tentang adanya surat perdamaian antara pihak korban dan pelaku. Ia menegaskan bahwa segala bentuk perdamaian yang terjadi tidak memiliki kekuatan hukum dalam konteks kejahatan luar biasa seperti ini.

“Tidak ada rekonsiliasi untuk kejahatan seperti ini. Negara harus berdiri di sisi korban. Ini bukan pelanggaran ringan atau kesalahpahaman. Ini adalah bentuk kekerasan seksual yang serius,” tegasnya lagi.

Negara Harus Hadir: Lindungi Kelompok Rentan

Dalam pernyataannya, Debi juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan. Ia mengutip bahwa lebih dari 90 persen korban kekerasan seksual di Indonesia adalah perempuan dan anak-anak kelompok yang seharusnya paling dijaga oleh sistem hukum dan sosial.

“Ketika korban justru menjadi pihak yang disudutkan dan dilemahkan, maka kita sedang menciptakan ruang nyaman bagi pelaku kekerasan seksual. Ini yang tidak boleh dibiarkan,” pungkasnya.

Kini, publik menanti apakah proses hukum terhadap Priguna akan berjalan sesuai harapan korban dan masyarakat luas, atau justru menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan kekerasan seksual di tanah air. Yang jelas, satu hal menjadi terang: keadilan bagi FH bukan hanya tentang menjatuhkan hukuman, tetapi juga memulihkan martabat dan keamanan hidupnya yang telah direnggut.

(Ning)

#PrigunaAnugerahPratama #Perkosaan #DokterPerkosaPasien #RSHS