Kasus Pemerkosaan oleh Dokter Residen RSHS Bertambah, Total Tiga Korban
Priguna Anugerah Pratama Pelaku Pemerkosaan Terhadap Keluarga Pasien di RSHS
D'On, Bandung – Di balik dinding steril Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, terkuak tragedi yang mengguncang kepercayaan publik terhadap dunia medis. Priguna Anugerah Pratama (31), seorang dokter residen yang seharusnya menjadi garda depan penyelamat nyawa, justru menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap pasien-pasien yang semestinya ia rawat dengan penuh empati.
Setelah kasus pemerkosaan pertama yang menyeret nama Priguna mencuat ke permukaan, Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) kembali mengungkap perkembangan mengejutkan: dua korban baru telah diperiksa. Kedua perempuan ini adalah pasien yang sedang menjalani pengobatan di RSHS. Mereka berusia 21 dan 31 tahun dua usia yang mencerminkan rentang rentan dalam posisi sebagai pasien yang menggantungkan keselamatannya pada tenaga medis.
"Modus dan Lokasi Sama, Hanya Waktu yang Berbeda"
Kombes Pol Surawan, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, mengungkap bahwa modus yang digunakan Priguna dalam dua insiden terbaru identik dengan kasus sebelumnya. Tindakan bejat itu dilakukan di lokasi yang sama—sebuah ruangan kosong di lantai 7 RSHS, yang belum difungsikan secara resmi sebagai bagian dari fasilitas rumah sakit. Waktu kejadiannya pun tak berjauhan: masing-masing pada tanggal 10 dan 16 Maret 2025.
“Modusnya mengaku akan melakukan analisis anestesi dan uji alergi obat bius kepada para korban,” ungkap Surawan. “Setelah itu, korban dibawa ke ruangan yang sama dan akhirnya dibius hingga tak sadarkan diri sebelum diperkosa.”
Tersangka Sudah Dipecat, Izin Praktik Dicabut
Priguna telah dikeluarkan dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Pihak kampus maupun rumah sakit bertindak cepat—bukan hanya mencabut status akademiknya, tapi juga bekerja sama dengan instansi terkait untuk mencabut izin praktik medisnya.
Namun, langkah tersebut belum meredam kemarahan publik dan kekecewaan para korban. Sebab, tindakan pelaku tak hanya melanggar hukum pidana, tapi juga menghancurkan salah satu nilai fundamental dalam dunia medis: kepercayaan.
Total Korban Saat Ini Mencapai Tiga Orang
Dengan dua korban baru ini, total sudah tiga perempuan yang menjadi korban predator berseragam putih tersebut. Kasus pertama yang mencuat beberapa waktu lalu melibatkan seorang perempuan berusia 21 tahun—bukan pasien, tetapi anak dari salah satu pasien di RSHS. Ia mengalami kekerasan seksual pada 23 Maret 2025, juga di lantai 7 gedung RSHS yang kala itu belum difungsikan dan nyaris tanpa pengawasan.
“Ini jelas menunjukkan adanya kelengahan sistemik,” kata Surawan. “Ruangan yang belum digunakan seharusnya tidak bisa diakses secara bebas oleh tenaga medis, apalagi untuk membawa pasien sendirian tanpa pendamping.”
Evaluasi dan Pertanggungjawaban: Tak Hanya Pelaku
Pihak RSHS dan institusi pendidikan dokter spesialis kini menghadapi tekanan publik untuk mengevaluasi sistem pengawasan terhadap dokter residen. Apakah sistem mentoring berjalan sebagaimana mestinya? Mengapa seorang dokter muda bisa membawa pasien ke ruangan kosong tanpa ada pertanyaan atau pengawasan dari senior atau petugas lain?
“Insiden ini akan menjadi momentum evaluasi menyeluruh,” tegas Surawan. “Kami juga akan menggandeng pihak rumah sakit dan institusi pendidikan untuk memperketat pengawasan terhadap para residen.”
Luka di Dunia Medis
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran etik dan kriminal di ranah profesi mulia yang seharusnya menjadi simbol penyembuhan dan perlindungan. Ketika ruang rawat berubah menjadi ruang horor, publik patut bertanya: sejauh mana lembaga medis siap menjaga keamanan pasien, dan seberapa ketat sistem bisa mendeteksi pelanggaran sebelum semuanya terlambat?
Kini, langkah hukum terus bergulir. Namun, kepercayaan publik butuh lebih dari sekadar proses pengadilan—ia butuh transparansi, pertanggungjawaban, dan reformasi.
(Mond)
#PrigunaAnugerahPratama #Perkosaan #Kriminal #DokterPerkosaKeluargaPasien