Kemacetan Kuliner Banda Puruih: Ketika Sensasi Rasa Mengorbankan Ruang Warga
Tertibkan Parkir, Lurah Padang Pasir Imbau Petugas Parkir dan Pemilik Kuliner untuk Berembuk
D'On, Padang - Di balik aroma sedap dan hiruk-pikuk wisata kuliner Banda Puruih, terselip konflik ruang yang makin memanas. Di satu sisi, geliat ekonomi terus berdetak lewat piring-piring penuh cita rasa. Di sisi lain, warga mulai gerah dengan invasi kendaraan yang tak tahu batas.
Fenomena hunting kuliner hari ini bukan sekadar tren; ia telah menjelma menjadi gaya hidup yang mendominasi ruang publik. Di Kota Padang, kawasan Banda Puruih menjadi salah satu magnet kuliner yang selalu ramai, khususnya menjelang sore hingga malam hari. Deretan gerai makanan, dari yang viral di media sosial hingga yang legendaris di lidah warga lokal, membuat ruas jalan ini tak pernah benar-benar sepi.
Namun, euforia itu menyimpan dampak yang serius.
“Trotoar bukan lagi tempat pejalan kaki. Halaman rumah kami pun jadi tempat parkir dadakan,” ungkap salah seorang warga Kelurahan Padang Pasir dengan nada kecewa. Ia bukan satu-satunya yang mengeluh. Puluhan warga lainnya mengalami keresahan yang sama: ruang privat mereka direbut tanpa izin oleh kendaraan pengunjung kuliner yang parkir semaunya.
Jalan Raya Disulap Jadi Tempat Parkir
Kondisi ini kian hari kian tak terkendali. Parkir sembarangan menjadi pemandangan lazim, bahkan menghambat kendaraan yang melintas. Lebih parah lagi, kendaraan besar seperti mobil travel dan angkot kerap berhenti mendadak untuk menurunkan penumpang, menambah sesak jalanan yang sempit.
Mendengar keluhan tersebut, pihak Kelurahan Padang Pasir bertindak. Sebuah undangan resmi dilayangkan ke RT, RW, pemilik usaha kuliner, serta perwakilan warga di sepanjang ruas jalan Banda Puruih. Tujuannya satu: duduk bersama, berdiskusi, dan mencari jalan keluar sebelum konflik melebar.
Rapat Darurat di Kantor Lurah
Rapat berlangsung Senin (14/4/2025) di kantor lurah, dipimpin langsung oleh Bayu Indra Zainal, Lurah Padang Pasir.
“Sudah beberapa kali kami terima laporan mobil parkir sampai ke halaman warga. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi potensi konflik sosial. Jangan sampai ada yang main hakim sendiri,” tegas Bayu membuka diskusi.
Dari pihak pelaku usaha, Mas Nanang, pemilik usaha Bakso Teras Kelapa, mengakui keterbatasan lahan parkir yang mereka miliki.
“Kami sadar dampaknya. Kami sudah sediakan parkir di belakang, tapi jumlah kendaraan kadang jauh melebihi kapasitas. Saya bahkan sudah coba nego dengan pemilik lahan kosong di sekitar, tapi belum ada yang berhasil,” ujarnya jujur.
Keluhan juga datang dari petugas parkir. “Kadang pengunjung maksa parkir, padahal lahan sudah penuh. Kalau kami larang, mereka marah. Kami serba salah, Pak,” tambah salah seorang di antara mereka.
Solusi Sementara: Corn Parkir dan Edukasi Petugas
Setelah perdebatan panjang, rapat menghasilkan beberapa langkah konkret. Pertama, pemasangan corn parkir di sepanjang lajur milik usaha untuk membatasi area parkir agar tidak meluber ke jalan umum dan rumah warga. Kedua, edukasi keras kepada petugas parkir agar berani menolak kendaraan jika kapasitas sudah penuh.
Langkah ini juga menyesuaikan dengan Perda No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perparkiran.
Namun, rapat tidak selesai di atas meja.
“Sekarang juga kita turun ke lapangan. Lihat langsung kondisi sesungguhnya, dan uji strategi yang bisa diterapkan,” ajak Bayu dengan nada serius.
Bersama Bhabinkamtibmas Berry M, rombongan yang terdiri dari RT/RW 02 dan 03, tokoh masyarakat, pemilik usaha, hingga perangkat kelurahan, meninjau langsung kawasan Banda Puruih. Mereka mencoba simulasi rekayasa jalan, termasuk skenario penutupan parkir ketika kondisi sudah padat.
Keseimbangan Rasa dan Ruang
Di balik kelezatan seporsi bakso atau mie pedas viral, tersimpan pertanyaan besar: sampai sejauh mana kita rela mengorbankan ruang bersama demi mengejar nikmat sesaat?
Banda Puruih kini di persimpangan. Apakah ia akan menjadi contoh kawasan kuliner yang tertib dan manusiawi, atau berubah menjadi medan konflik antara rasa dan ruang?
Waktu dan tindakan semua pihak akan menjawabnya. Tapi satu hal pasti, Kota Padang tidak boleh membiarkan sensasi kuliner menjadi bom waktu di ruang publiknya.
(Riko/mond)
#ParkirLiar #Trotoar #Padang