Breaking News

Kisah Kelam di Balik Dinding RSHS: Efek Traumatik Obat Bius dan Aksi Predator Seksual Berjas Dokter

Priguna Anugerah Pratama dokter PPDS di RSHS Bandung tersangka pemerkosaan anak perempuan pasien, dihadirkan saat konferensi pers di Polda Jawa Barat, Rabu (9/4/2025).

D'On, Bandung
Di balik megahnya gedung Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, tersimpan luka mendalam yang masih segar membekas di tubuh dan jiwa tiga perempuan muda. Mereka adalah korban dari ulah kelam mantan residen dokter anestesi, Priguna Anugerah Pratama, yang kini menjadi terdakwa dalam kasus kekerasan seksual mengerikan yang mengguncang dunia medis dan masyarakat luas.

Kombes Pol Surawan, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, mengungkapkan bahwa kondisi para korban hingga kini belum sepenuhnya pulih. Luka fisik mungkin bisa diobati, namun dampak psikologis dan efek samping dari obat bius yang disuntikkan secara ilegal masih menghantui hari-hari mereka.

"Mereka kerap mengalami pusing, telinga berdenging. Itu efek langsung dari zat bius yang dimasukkan ke tubuh mereka. Sampai sekarang keluhannya masih berlanjut," ujar Surawan saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda Jabar, Kamis (17/4).

Keluhan tersebut bukan sekadar efek sementara. Beberapa korban bahkan dilaporkan mengalami gangguan keseimbangan dan gejala yang mengarah pada trauma psikis akibat situasi yang penuh tekanan dan tak berdaya saat aksi bejat itu dilakukan.

Aksi Terencana di Balik Kedok Kemanusiaan

Kasus ini bermula dari laporan seorang perempuan berusia 21 tahun, anak dari pasien kritis yang dirawat di RSHS. Ia menjadi korban pertama yang terungkap. Kejadiannya berlangsung pada 18 Maret 2025, di lantai 7 gedung rumah sakit, tepat ketika suasana dini hari yang lengang membuat pengawasan menjadi longgar.

Berdalih ingin melakukan transfusi darah untuk sang ayah, Priguna menyuntikkan obat bius sebanyak 15 kali ke tubuh perempuan itu. Setelah korban tak sadarkan diri, Priguna melancarkan aksi pemerkosaan. Modus berpakaian putih bersih dan membawa identitas medis resmi membuat korban dan keluarganya tak menaruh curiga.

Tak berhenti di sana, dalam pengembangan kasus, terungkap dua korban lainnya: masing-masing berusia 21 dan 31 tahun, keduanya pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit yang sama. Insiden terjadi pada 10 dan 16 Maret 2025. Kali ini, Priguna berdalih hendak melakukan tes alergi obat bius dan pemeriksaan pra-transfusi, lalu membius mereka sebelum kembali melancarkan aksi kriminalnya.

Modus yang Sistematis, Obat Bius Dibawa Sendiri?

Pertanyaan besar pun muncul: dari mana Priguna memperoleh dan menyimpan obat bius tersebut? Kombes Surawan mengindikasikan bahwa ada kemungkinan kuat pelaku membawa sendiri zat bius tersebut. Namun, hingga kini penyidik masih mendalami jalur distribusi dan kontrol penggunaan obat-obatan anestesi di lingkungan rumah sakit.

"Masih kami dalami, termasuk kemungkinan pelaku menyimpan dan membawa sendiri obat itu. Kami juga bekerja sama dengan pihak rumah sakit untuk mengaudit sistem pengawasan penggunaan obat," tegas Surawan.

Fetish Mengerikan: Ketertarikan pada Korban Tak Sadarkan Diri

Penyelidikan lebih jauh mengungkap bahwa motif Priguna bukan semata kriminal, melainkan mengarah pada gangguan seksual yang dikenal dengan istilah Somnophilia. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasakan hasrat seksual terhadap individu yang sedang tertidur atau dalam kondisi tidak sadar. Di kalangan psikolog, ini tergolong sebagai paraphilic disorder yang ekstrem dan sangat membahayakan jika tidak ditangani.

Aksi Priguna menjadi pengingat mengerikan bahwa kepercayaan terhadap profesi medis, yang seharusnya menjadi simbol keselamatan dan pertolongan, bisa disalahgunakan untuk tujuan predatoris yang terselubung dan penuh perencanaan.

Akhir Jalan Karier dan Ancaman Hukum Berat

Sebagai bentuk tanggung jawab profesional dan etik, izin praktik Priguna telah dicabut secara permanen. Ia tidak akan pernah lagi diizinkan menyandang status dokter atau menangani pasien di masa mendatang.

Di sisi hukum, Priguna kini tengah menghadapi ancaman hukuman berat. Berdasarkan pasal-pasal yang disangkakan, ia bisa dijatuhi hukuman maksimal hingga 17 tahun penjara.

Namun, bagi para korban, keadilan bukan hanya soal hukuman pidana. Ini adalah soal pemulihan rasa aman, kepercayaan, dan hak atas tubuh mereka sendiri yang telah direnggut secara brutal. Dan bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi peringatan keras bahwa sistem keamanan dan pengawasan di fasilitas kesehatan harus diperketat, bukan hanya terhadap pasien, tapi juga terhadap tenaga medis di dalamnya.

Tragedi ini bukan hanya soal satu pelaku. Ini tentang sistem, kepercayaan, dan luka yang tak terlihat.

(Mond)

#RSHS #PrigunaAnugerahPratama #DokterLecehkanPasien