Lewat Surat dari Balik Jeruji, Hasto Menyalahkan Jokowi atas Efisiensi Anggaran Era Prabowo
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kiri) berjalan setibanya untuk menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakara Pusat, Jumat (14/3/2025). ANTARA FOTO
D'On, Jakarta – Dalam situasi penuh ketegangan politik dan hukum, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengirimkan sepucuk surat yang menggemparkan dari balik jeruji besi Rutan Merah Putih milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui surat yang dibacakan oleh koleganya, politikus PDIP Guntur Romli, Hasto menumpahkan isi hati sekaligus melayangkan kritik tajam kepada Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Surat itu dibacakan di tengah sidang putusan sela yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (11/4/2025). Di hadapan majelis hakim dan publik yang hadir, Romli membacakan suara dari balik tembok tahanan, suara yang menurut Hasto, lahir dari keprihatinan mendalam atas kondisi bangsa.
Kritik Pedas: Jokowi Disebut Biang Krisis Ekonomi
Dalam suratnya, Hasto secara gamblang menyalahkan kebijakan pemerintahan Jokowi sebagai akar dari memburuknya kondisi ekonomi nasional. Ia menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto—yang kini menggantikan Jokowi—dipaksa untuk melakukan langkah-langkah efisiensi fiskal akibat kesalahan pengelolaan negara selama dua periode pemerintahan sebelumnya.
“Segala dampak kesulitan ekonomi yang kita alami hari ini, termasuk langkah efisiensi yang harus ditempuh oleh pemerintahan Pak Prabowo, adalah akibat dari salah urus negara yang dilakukan oleh Joko Widodo,” demikian kutipan Hasto melalui Romli.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan, bukan hanya karena disampaikan dari seorang terdakwa kasus korupsi, tetapi juga karena dilontarkan dari tokoh penting dalam partai yang dulu menjadi rumah politik Jokowi.
Pesan Perjuangan dari Tahanan: “Jangan Pernah Takut Bersuarakan Keadilan”
Namun, surat Hasto tak hanya berisi kritik terhadap Jokowi. Ia juga menyelipkan pesan moral, semangat perlawanan, dan doa bagi Indonesia. Dalam suratnya, Hasto mengajak masyarakat untuk tidak takut bersuara, apalagi jika itu menyangkut keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Selama berada di dalam tahanan, Hasto mengaku menjalani puasa khusus selama 36 jam, yang membuat berat badannya turun 6 kilogram. Ia menyebut masa penahanan sebagai “momen kristalisasi nilai-nilai perjuangan”, dan mengaku tetap menjaga kebugaran dengan rutin berolahraga.
“Bangsa ini akan semakin kuat karena energi positif dari seluruh anak bangsanya. Di dalam tahanan terjadi kristalisasi nilai dan semangat. Jangan pernah takut berjuang demi keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan,” tulis Hasto.
Dakwaan Berat: Suap, Rekayasa Politik, dan Perintangan Penyidikan
Namun, pesan moral dan semangat perjuangan itu dibayang-bayangi oleh dakwaan hukum yang serius. Jaksa Penuntut Umum KPK menjerat Hasto dalam dua perkara besar: suap politik dan perintangan penyidikan.
Dalam dakwaan pertama, Hasto dituduh terlibat dalam skandal politik besar pada Pemilu Legislatif 2019. Ia disebut ikut membantu Harun Masiku—kader PDIP yang kini buron—untuk menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Uang sebesar Rp400 juta disebut telah digelontorkan dari total komitmen Rp1 miliar, demi membantu Harun merebut kursi parlemen yang semestinya jatuh ke tangan Rezky Aprilia, setelah calon terpilih Nazaruddin Kiemas wafat. Harun, yang meraih suara lebih sedikit, mencoba memanipulasi proses pergantian antar waktu (PAW) melalui jalur belakang, dan Hasto diduga memainkan peran kunci dalam upaya tersebut.
Dalam dakwaan kedua, Hasto disebut memerintahkan Harun Masiku untuk menghancurkan barang bukti penting: telepon genggam. Langkah ini disebut sebagai strategi untuk mengaburkan jejak dan menghindari pelacakan oleh KPK.
“Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Ia juga didakwa melanggar ketentuan perintangan penyidikan,” jelas Jaksa KPK.
Antara Politik, Hukum, dan Simpati Publik
Kasus ini menjadi panggung dramatis yang mempertemukan nuansa politik dan penegakan hukum dalam satu babak besar. Di satu sisi, Hasto mencoba menggiring opini publik dengan narasi perjuangan dan kritik kepada pemerintahan sebelumnya. Di sisi lain, fakta hukum menunjukkan keterlibatan dalam praktik-praktik yang merusak tatanan demokrasi dan integritas lembaga negara.
Surat dari balik jeruji itu kini telah menjadi bahan perdebatan luas—di kalangan politisi, pengamat, dan masyarakat. Apakah ini sebatas strategi politik untuk membalikkan opini publik? Ataukah ini benar-benar suara hati dari seorang tokoh yang sedang menghadapi badai?
Yang jelas, drama hukum dan politik Hasto Kristiyanto masih jauh dari selesai. Dan publik, seperti biasa, tetap menjadi saksi dari pertarungan antara kekuasaan, kebenaran, dan keadilan di panggung republik ini.
(Mond)
#EfisiensiAnggaran #HastoKristiyanto #Jokowi