Mengabaikan Kesehatan Mental: Bom Waktu yang Bisa Memicu Kekerasan Seksual
Infografis dirgantaraonline
Dirgantaraonline - Kekerasan Seksual dan Akar yang Jarang Disadari
Kekerasan seksual kerap dipandang sebagai tindakan brutal yang berdiri sendiri sebuah hasil dari nafsu atau kekuasaan yang tak terkendali. Namun, ada satu faktor mendasar yang kerap luput dari perhatian publik: kesehatan mental. Di balik setiap tindakan kekerasan seksual yang menggemparkan, sering tersembunyi riwayat kesehatan mental yang terabaikan, luka psikologis yang tak pernah sembuh, dan lingkungan sosial yang gagal mendeteksi tanda-tanda peringatan.
Artikel ini akan mengajak pembaca menyelami dimensi yang sering kali diabaikan dalam diskusi publik tentang kekerasan seksual: bagaimana mengabaikan kesehatan mental, baik pada pelaku maupun korban, dapat menciptakan siklus kekerasan yang tak kunjung usai.
Luka Batin yang Membusuk dalam Diam
Kesehatan mental bukan sekadar soal “perasaan sedih” atau “stres kerja.” Ini adalah pondasi dari cara seseorang memandang dunia, mengelola impuls, dan membentuk relasi dengan orang lain. Ketika kesehatan mental terganggu—entah karena trauma masa kecil, kekerasan yang pernah dialami, pengabaian emosional, atau gangguan kejiwaan yang tidak tertangani maka perilaku seseorang bisa melenceng dari norma sosial dan moral.
Pelaku kekerasan seksual, dalam berbagai studi, kerap memiliki latar belakang penuh luka: korban pelecehan di masa kecil, perasaan tak berdaya yang disublimasikan menjadi dominasi, atau gangguan seperti gangguan kepribadian antisosial dan narsistik. Jika luka ini tidak pernah mendapatkan ruang untuk disembuhkan, ia menjadi benih kekerasan.
Ketika Gangguan Mental Bertemu Budaya Patriarki
Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki, gangguan mental pada pria sering kali tak terdeteksi. Pria yang depresi, cemas, atau trauma justru ditekan untuk “kuat,” “tegar,” dan “maskulin.” Mereka dilarang menangis, apalagi bicara tentang emosi. Akibatnya, emosi negatif mengendap, mengeras, dan akhirnya meledak dalam bentuk yang paling destruktif: kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Dalam kondisi kesehatan mental yang terganggu, seseorang bisa kehilangan empati, tak mampu membaca batasan orang lain, atau justru menjadikan tubuh orang lain sebagai pelampiasan rasa sakit batin yang tak terucapkan. Ini bukan pembenaran, tetapi sebuah penjelasan yang perlu menjadi alarm bagi sistem sosial dan kesehatan kita.
Korban yang Terluka Dua Kali
Yang lebih memilukan, korban kekerasan seksual juga sering kali mengabaikan atau bahkan tidak mendapatkan akses terhadap dukungan kesehatan mental. Trauma pascakejadian (PTSD), depresi, rasa bersalah, dan rasa malu bisa menghancurkan hidup mereka perlahan. Ketika trauma tidak ditangani, korban bisa merasa “terjebak” dalam siklus kekerasan, sulit membangun kepercayaan, dan dalam beberapa kasus, bahkan menjadi pelaku kekerasan lain di masa depan.
Lingkungan yang menstigma korban, institusi yang menyulitkan pelaporan, serta kurangnya layanan psikologis yang terjangkau memperparah penderitaan mereka. Ini menciptakan lingkaran setan: kekerasan terjadi, korban trauma, tetapi sistem diam.
Solusi yang Terlupakan Kesehatan Mental Sebagai Tindakan Pencegahan
Dalam banyak kampanye pencegahan kekerasan seksual, kita fokus pada edukasi seks, konsent, dan hukum. Tapi kita jarang berbicara tentang deteksi dini gangguan mental, konseling bagi anak-anak korban kekerasan, atau pelatihan emosional bagi remaja.
Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam sistem pendidikan, keluarga, dan penegakan hukum bisa menjadi langkah preventif yang radikal. Bukan hanya menangani pelaku setelah kejadian, tetapi mencegah terbentuknya pola pikir dan kondisi psikologis yang bisa memicu kekerasan.
Misalnya, program kesehatan mental di sekolah bisa mengidentifikasi anak yang menunjukkan perilaku menyimpang sejak dini. Layanan konseling di komunitas bisa membantu orang tua memahami kebutuhan emosional anak. Dan yang tak kalah penting, penegak hukum harus dilatih untuk mengenali dampak psikologis kekerasan, baik pada pelaku maupun korban.
Kekerasan Seksual Bukan Sekadar Masalah Hukum, Tapi Juga Kesehatan Jiwa
Mengabaikan kesehatan mental sama dengan membiarkan bara dalam sekam terus menyala. Ia tidak hanya membakar individu, tetapi juga masyarakat secara luas. Kekerasan seksual hanyalah salah satu dari banyak dampak destruktif ketika luka batin tidak diobati.
Saatnya kita berhenti menganggap kesehatan mental sebagai hal sekunder atau pelengkap. Ini adalah garda terdepan dalam pencegahan kekerasan. Dan hanya dengan mengobati luka-luka jiwa yang tersembunyi, kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar aman, berempati, dan manusiawi.
(Rini)
#KesehatanMental #KekerasanSeksual #Gayahidup #Lifestyle