Mensesneg Buka Suara Soal Wacana Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: "Apa Salahnya?"
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi saat menyampaikan keterangan di Akmil Magelang, Jateng, Minggu (27/10/2024).
D'On, Jakarta – Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat dan memantik perdebatan publik. Di tengah pro dan kontra yang berkembang, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi angkat bicara dan menilai usulan itu sebagai sesuatu yang patut dipertimbangkan secara objektif.
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin (21/4/2025), Prasetyo menyebut bahwa tidak ada yang salah dari ide untuk memberi penghargaan tersebut kepada Soeharto, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun sejak 1966 hingga 1998. Menurut politikus Partai Gerindra itu, seluruh mantan presiden semestinya mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari negara atas jasa-jasanya, termasuk Soeharto.
“Usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara,” ujar Prasetyo.
Tak Hanya Kekurangan, Tapi Juga Prestasi
Prasetyo mengajak masyarakat untuk tidak hanya menyoroti sisi gelap masa pemerintahan Soeharto, tetapi juga mempertimbangkan prestasi dan kontribusi besarnya dalam pembangunan bangsa. Ia menekankan pentingnya melihat sejarah secara utuh, bukan sepotong-sepotong.
“Jangan selalu melihat yang kurangnya, kita lihat prestasinya. Sebagaimana Bapak Presiden selalu menyampaikan bahwa kita itu bisa sampai di sini karena prestasi para pendahulu kita,” ucapnya.
Di era Soeharto, Indonesia memang mengalami sejumlah lonjakan pembangunan, seperti swasembada pangan pada 1980-an, ekspansi infrastruktur besar-besaran, dan stabilitas politik yang relatif terjaga selama beberapa dekade. Namun, periode tersebut juga ditandai oleh represi politik, pelanggaran HAM, dan tudingan korupsi besar-besaran yang membayangi reputasi Soeharto hingga hari ini.
Soal Korupsi: "Tak Ada Manusia yang Sempurna"
Menanggapi kontroversi seputar dugaan mega korupsi yang menyeret nama Soeharto dan keluarganya, Prasetyo tak menampik bahwa presiden kelima itu memiliki catatan. Namun, ia menegaskan bahwa kesempurnaan bukanlah syarat mutlak untuk mendapat penghormatan negara.
“Kalau ada masalah, pasti semua kita ini tidak ada juga yang sempurna. Pasti kita ini ada kekurangan,” ujarnya.
Dalam pandangan Prasetyo, penghargaan terhadap tokoh nasional, apalagi seorang mantan presiden, tak semestinya hanya ditentukan oleh rekam jejak negatif, tetapi juga oleh kontribusi terhadap kemajuan bangsa.
“Semangatnya kita itu harus terus menghargai, menghargai, memberikan penghormatan, apalagi kepada para presiden kita,” tambahnya.
Sebuah Pintu Menuju Rekonsiliasi Sejarah?
Pernyataan Prasetyo ini menandai babak baru dalam wacana rekonsiliasi sejarah nasional. Di satu sisi, ada suara publik yang menuntut keadilan dan peninjauan ulang terhadap dosa-dosa masa lalu; di sisi lain, ada narasi yang mendorong agar bangsa ini bisa berdamai dengan sejarahnya, tanpa harus menghapus atau mengabaikan luka-luka yang pernah ada.
Soeharto, yang wafat pada 2008 tanpa pernah diadili atas dugaan korupsi dan pelanggaran HAM, tetap menjadi figur yang membelah opini publik: seorang arsitek pembangunan atau simbol otoritarianisme?
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada tokoh semacam Soeharto bisa menjadi langkah besar baik sebagai bentuk penghargaan, maupun sebagai ujian kedewasaan bangsa dalam menghadapi masa lalunya.
Kini, publik menanti, apakah gelar tersebut akan benar-benar dianugerahkan? Atau akankah perdebatan ini kembali menjadi gema yang hilang dalam lorong-lorong sejarah?
(Mond)
#GelarPahlawanNasional #Soeharto #Mensesneg #PrasetyoHadi