Breaking News

Narkoba Menembus Benteng Hukum: Dugaan Kelalaian Polisi di Balik Bobolnya Narkoba di Rutan Polresta Samarinda

Ilustrasi tiga pria siluet. (Istimewa)

D'On, Samarinda
— Tembok kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum kembali retak. Sebuah insiden memalukan mengguncang Polresta Samarinda, Kalimantan Timur, setelah narkotika berhasil menyelinap masuk ke dalam rumah tahanan (rutan) yang seharusnya menjadi benteng terakhir penahanan dan pengamanan hukum. Yang lebih menggemparkan, kejadian ini diduga kuat melibatkan kelalaian tiga oknum anggota polisi yang bertugas sebagai penjaga tahanan.

Kepala Kepolisian Resor Kota Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, tidak menampik kabar tersebut. Dalam pernyataan resminya kepada awak media, ia mengakui bahwa ketiga anggota yang diduga lalai kini telah ditempatkan dalam penahanan khusus (patsus) oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Kalimantan Timur. Penempatan khusus ini menandai dimulainya proses investigasi internal menyeluruh atas dugaan pelanggaran disiplin dan etika profesi yang berpotensi mencoreng citra institusi kepolisian.

“Benar. Ada oknum anggota jaga tahanan yang lalai dengan membiarkan adanya narkoba masuk ke Rutan Polresta Samarinda,” ujar Kombes Hendri dengan nada tegas namun prihatin.

Dugaan Kelalaian atau Mata Rantai Jaringan Gelap?

Meski pihak kepolisian masih bersikukuh bahwa ini adalah kelalaian semata, aroma kuat keterlibatan jaringan peredaran narkotika yang menyusup hingga ke jantung institusi hukum mulai mencuat ke permukaan. Bagaimana mungkin narkotika bisa melewati berlapis-lapis pemeriksaan dan pengawasan jika tidak ada kelengahan sistemik atau bahkan kolusi?

Dugaan tersebut tak bisa diabaikan, terlebih jika menilik konteks yang lebih luas: Samarinda dikenal sebagai salah satu kota dengan tingkat peredaran narkoba tertinggi di Indonesia. Data dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kaltim menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, telah terungkap 32 kasus besar peredaran narkotika, melibatkan 50 tersangka, termasuk 11 bandar, 35 pengedar, dan 4 kurir.

Barang bukti yang disita tidak main-main: 14,2 kilogram ganja dan 3,9 kilogram sabu—dengan nilai ekonomi mencapai Rp380 juta. Fakta ini menegaskan bahwa Samarinda bukan sekadar jalur lintas narkoba, melainkan juga pasar aktif yang telah menyasar berbagai lini, termasuk, diduga, aparat penegak hukum.

Evaluasi Menyeluruh, Bukan Sekadar Hukuman

Polresta Samarinda menyatakan komitmennya untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengamanan di lingkungan tahanan. Langkah ini tidak hanya penting untuk menutup celah keamanan, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik yang terancam runtuh.

“Kami akan perketat SOP dan memperbaiki sistem pengawasan internal. Setiap celah harus ditutup. Ini pelajaran penting dan menjadi momen introspeksi bagi institusi,” kata seorang perwira menengah yang enggan disebutkan namanya.

Namun publik berharap lebih dari sekadar evaluasi administratif. Banyak pihak menuntut transparansi penuh dalam proses investigasi, serta penegakan sanksi tegas yang tidak pandang bulu. Apalagi, jika terbukti ada unsur kesengajaan atau keterlibatan dalam jaringan gelap narkoba, tindakan tersebut tak bisa lagi ditoleransi.

Refleksi yang Menyakitkan

Kasus ini seolah mempertegas realitas pahit: bahwa bahkan di balik seragam cokelat yang seharusnya menjadi simbol keadilan, terdapat potensi celah yang bisa dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan. Tembusnya narkoba ke dalam rutan bukan hanya bentuk kelalaian, melainkan juga alarm keras bagi seluruh sistem penegakan hukum di negeri ini.

Apakah ini hanya puncak gunung es? Ataukah kita sedang menyaksikan permulaan dari terbongkarnya jaringan narkoba yang lebih dalam dan terstruktur di balik institusi hukum?

Waktu dan transparansi akan menjawabnya. Namun satu hal pasti—kasus ini tak boleh selesai hanya dengan sanksi internal. Harus ada penegasan bahwa hukum benar-benar tajam ke atas dan ke bawah, tanpa kompromi.

(B1)

#Narkoba #Sabu #PolrestaSamarinda