Breaking News

Oknum Polisi Sidoarjo Didakwa Gerayangi Adik Pacarnya Saat Tidur di Kos

Ilustrasi polisi. Foto: Shutterstock

D'On, Surabaya
Di balik balutan seragam dan kewenangan yang melekat padanya, seorang anggota polisi di Sidoarjo kini duduk di kursi pesakitan, menghadapi dakwaan serius atas dugaan tindakan asusila yang dilakukannya terhadap seorang perempuan yang tak lain adalah adik kandung dari kekasihnya sendiri.

Adalah FHLS, anggota Satuan Samapta Polresta Sidoarjo, yang kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Ia didakwa melanggar Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sidang perdana atas perkara ini digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (23/4), dengan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Ayu Rita Nurcahya, membacakan dakwaan secara resmi.

Malam yang Berubah Jadi Mimpi Buruk

Kisah kelam ini bermula pada Kamis dini hari, 17 April lalu. Malam itu, FHLS baru saja pulang dari sebuah bar populer di Surabaya bernama Camden. Ia diketahui menghabiskan waktu bersama beberapa rekannya sesama polisi. Seusai berpesta, FHLS memutuskan untuk bermalam di kos milik pacarnya, yang terletak di kawasan Siwalankerto, Surabaya.

Namun, yang terjadi di sana sungguh di luar nalar. Di dalam kamar kos itu, sang kekasih bersama adik perempuannya tengah terlelap tidur di atas satu kasur. Tanpa rasa hormat dan kendali diri, FHLS diduga mendekati korban yang sedang tidur, lalu dengan sengaja menarik celana yang dikenakan korban.

Korban, yang merasa ada gerakan tidak wajar di tubuhnya, terbangun dengan kaget. Dalam remang-remang kamar, ia melihat FHLS berusaha bersembunyi di samping tempat tidur. Perasaan kaget berubah menjadi trauma dan ketakutan. Tak butuh waktu lama, korban langsung melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Timur.

Dakwaan dan Proses Hukum

“Sidang masih dilanjutkan,” kata JPU Ayu Rita singkat kepada wartawan usai sidang. Karena menyangkut kasus kekerasan seksual, seluruh rangkaian persidangan digelar secara tertutup untuk melindungi identitas dan psikologis korban.

Dalam dakwaan, Ayu menjelaskan bahwa tindakan FHLS termasuk dalam kategori kekerasan seksual fisik non-penetrasi, sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Meski tanpa penetrasi, tindakan tersebut tetap dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap integritas tubuh dan hak atas rasa aman korban.

Citra Institusi Dipertaruhkan

Kasus ini kembali membuka luka lama tentang bagaimana integritas oknum aparat penegak hukum sering kali tercoreng oleh perilaku individu yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan. Kejadian ini pun mengundang perhatian publik, mengingat pelaku adalah anggota aktif kepolisian.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari institusi kepolisian tempat FHLS bertugas mengenai status dan sanksi internal terhadap yang bersangkutan. Namun publik mendesak agar kasus ini tidak hanya berhenti di meja hijau, tapi juga menjadi momentum bersih-bersih institusi dari oknum yang mencoreng nama baik korps.

Harapan Keadilan untuk Korban

Dalam pusaran kasus seperti ini, satu hal yang paling penting adalah memastikan keadilan bagi korban. Tindak kekerasan seksual kerap meninggalkan luka yang tak kasat mata trauma psikologis dan rasa kehilangan rasa aman yang bisa menghantui seumur hidup.

Dengan hadirnya UU TPKS, korban kini memiliki payung hukum yang lebih kuat. Masyarakat pun berharap bahwa proses hukum terhadap FHLS bisa berjalan transparan dan adil, tanpa intervensi ataupun upaya perlindungan dari pihak manapun.

(*)

#PelecehanSeksual #Kriminal #OknumPolisi