Breaking News

Patahan Citarik: Ancaman Tersembunyi di Tengah Pemukiman Padat Jawa Barat


Dirgantaraonline
- Di balik gemerlap dan hiruk pikuk wilayah padat penduduk seperti Bogor, Cileungsi, Gunung Putri, hingga Bekasi, terdapat sebuah struktur geologis yang jarang diperbincangkan namun menyimpan potensi bahaya: Patahan Citarik.

Patahan ini bukan sembarang patahan. Ia sudah "hidup" sejak 15 juta tahun lalu, tepatnya sejak zaman Miosen, dan membentang sejauh 250 kilometer dari Pelabuhanratu, Sukabumi, hingga menyentuh pantai utara Bekasi. Dengan panjang itu, patahan ini membelah tiga segmen utama: Segmen Selatan, Tengah, dan Utara—masing-masing dengan karakteristik unik dan risiko tersendiri.

Pergerakan Mendatar Kiri yang Tenang Tapi Aktif

Patahan Citarik diklasifikasikan sebagai Sinistral Strike-Slip, yakni patahan dengan pergerakan horizontal ke arah kiri. Meski laju pergerakannya belum terukur secara pasti, berbagai indikasi di permukaan bumi menunjukkan bahwa patahan ini masih aktif.

Bukti-bukti itu terlihat jelas dari rekahan dan kelurusan morfologi perbukitan di kawasan Gunung Salak dan Citeureup, Bogor. Bahkan, Patahan Citarik diyakini turut membentuk struktur Gunung Salak yang sekarang berdiri gagah namun menyimpan misteri geologi yang belum sepenuhnya terpecahkan.

Kota-Kota di Atas Retakan

Yang membuat Patahan Citarik begitu penting untuk diperhatikan adalah lokasinya—melewati wilayah-wilayah berpenduduk padat. Bayangkan, patahan ini membentang di bawah Kota Bogor, Cileungsi, Gunung Putri, dan Bekasi. Ribuan, bahkan jutaan nyawa berada di atas potensi sumber gempa ini.

Namun, uniknya, Patahan Citarik tergolong minim gempa besar. Dalam sejarah kegempaannya, aktivitasnya lebih sering menimbulkan gempa kecil dan gempa swarm—yakni rangkaian gempa kecil dalam waktu yang berdekatan. Meski terlihat “jinak”, hal ini tidak berarti tidak berbahaya.

Sejarah Kegempaan Patahan Citarik

Berikut adalah beberapa kejadian gempa yang tercatat dan diduga berasal dari aktivitas Patahan Citarik:

  1. 1833 & 1852: Gempa tercatat di Jakarta dan Bogor, meski tanpa data kekuatan pasti.
  2. 9 Februari 1975: M5.6, pusat di Gunung Salak, dirasakan kuat di berbagai wilayah Bogor.
  3. 12 Juli 2000: M5.4, terasa intens di Ciawi dan Bogor.
  4. 20 Desember 2000: M4.3, mengguncang Taman Sari.
  5. 3 November 2003: M4.4, hanya 8 km dari pusat Kota Bogor.
  6. 11 Oktober 2008: M4.1 di Kabandungan.
  7. 10 Maret 2020: M5.0 di Kabandungan, menimbulkan kerusakan nyata.
  8. 2019-2020: Rentetan gempa swarm di Kabandungan dan Desa Malasari.

Terbaru, 10 April 2025, gempa M4.1 mengguncang pusat Kota Bogor. Meskipun skalanya tidak besar, warga merasakan guncangan yang cukup kuat disertai suara dentuman dan gemuruh. Menurut Dr. Daryono, S.Si., M.Si., Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, suara tersebut muncul karena getaran frekuensi tinggi di dekat permukaan—indikasi kuat bahwa hiposenter (pusat gempa) sangat dangkal. Fenomena ini, menurutnya, sepenuhnya normal dan wajar dalam gempa sangat dangkal, dan bukan akibat aktivitas Gunung Salak atau konspirasi yang kadang ramai di media sosial.

Bisakah Patahan Citarik Memicu Gempa Besar?

Jawabannya singkat: Ya, bisa.
Namun, perlu ditegaskan bahwa gempa bumi tidak bisa diprediksi, baik tanggal, waktu, maupun skalanya. Jadi, jika ada informasi yang menyebutkan akan terjadi gempa besar di hari tertentu—itu pasti hoaks.

Yang bisa kita lakukan adalah memahami, mengenali, dan membangun kesadaran mitigasi bencana. Patahan Citarik bukan untuk ditakuti, tapi untuk diwaspadai.

Referensi:

  • USGS Catalog
  • BMKG
  • ResearchGate
  • JGSM
  • Tempo.co
  • BPBD Bogor

Salam waspada, bukan panik

(*)

#info #gempa #Indonesia #PatahanCitarik #Bogor #BMKG

(*)