Breaking News

Petani Lansia Ditemukan Tewas di Kebun Pisang Padang Pariaman

Petani Lansia Ditemukan Meninggal di Kebun Pisang Padang Pariaman – Dok. Sumbarkita.id

D'On, Padang Pariaman
- Langit siang itu di Korong Tanjung Basung I, Nagari Sungai Buluah Barat, Kabupaten Padang Pariaman, tak menunjukkan firasat apa pun. Awan menggantung malas di cakrawala, angin sesekali berhembus pelan melewati sela-sela daun pisang yang lebat. Segalanya tampak biasa. Terlalu biasa, hingga tak ada satu pun warga yang menduga, bahwa hari itu akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan yang begitu sunyi dan menggugah.

Buyuang Adang, lelaki sepuh berusia 72 tahun, dikenal banyak orang sebagai pribadi bersahaja. Seorang petani tua yang hidup damai dengan tanah dan waktu. Setiap pagi, ia menyusuri jalan setapak menuju kebun, membawa harapan sederhana: mengumpulkan buah pinang, sebagaimana telah ia lakukan sepanjang hidupnya. Begitu juga pada Kamis pagi, 24 April. Ia melangkah ringan dari rumah, meninggalkan anak dan cucu dengan senyum tenang.

Namun, senja datang tanpa bayang-bayangnya. Ketika matahari mulai merunduk di balik perbukitan dan angin malam mulai menggigilkan tubuh, keluarga Buyuang mulai gelisah. “Biasanya sore sudah pulang,” tutur Dewi Ratnasari, putrinya yang berusia 35 tahun, dengan suara nyaris tak terdengar. Ia masih ingat betul, bagaimana perasaan cemas perlahan berubah menjadi kepanikan.

Tak ingin menunggu lebih lama, keluarga segera melapor ke Wali Korong. Malam itu, dengan senter seadanya dan tekad penuh kecemasan, warga turun ke kebun. Mereka menyusuri lorong-lorong gelap di antara pohon pinang dan pisang, berharap menemukan jejak, secercah petunjuk, apa pun yang bisa mengarah pada sosok sang ayah yang tak kunjung pulang. Namun malam itu tak memberi jawaban.

Keesokan harinya, Jumat 25 April, pencarian dilanjutkan. Matahari tepat di atas kepala ketika seorang warga bernama Suherman (39) memutuskan menembus rimbunan kebun pisang yang jarang dilewati. Tangan dan kakinya digores semak, peluh membasahi punggung bajunya. Lalu ia berhenti. Di balik tumpukan dedaunan yang lembab dan batang pisang yang berdiri seperti penjaga bisu, Suherman melihatnya.

Tubuh Buyuang terbaring diam di tanah, dikelilingi keteduhan yang kini terasa ganjil. Tak ada gerakan, tak ada napas. Kaku. Dingin. Ia telah pergi.

Suherman berteriak. Warga berdatangan. Suasana berubah menjadi haru dan pilu. Dalam waktu singkat, laporan sampai ke Polsek Batang Anai. Polisi datang dan mengamankan lokasi. Mereka melakukan olah tempat kejadian perkara dengan hati-hati, mencari kemungkinan adanya kejanggalan. Namun tak ada yang mencurigakan. Tak ada luka. Tak ada tanda kekerasan. Hanya tubuh seorang lelaki tua, yang seolah tertidur di tengah kesunyian kebun.

Pukul 12.55 WIB, jenazah Buyuang dibawa pulang ke rumah duka. Tangis pun pecah. Bukan hanya dari keluarga, tapi juga dari tetangga dan sahabat yang mengenal sosoknya sebagai panutan dalam kesabaran. Rumah sederhana itu dipenuhi pelukan, doa, dan air mata.

Keluarga sepakat untuk tidak melakukan otopsi. Mereka memilih mengikhlaskan kepergian sang ayah sebagai takdir Tuhan yang sudah tertulis. “Bapak pergi seperti caranya hidup—tenang, tanpa mengganggu siapa pun,” ucap Dewi, sambil menyeka air matanya.

Kini, di kebun yang sama tempat Buyuang menghabiskan sebagian besar hidupnya, dedaunan masih bergoyang tertiup angin. Seolah menyampaikan salam perpisahan dari alam yang dulu begitu ia cintai.


Kalau kamu ingin versi ini dibuat untuk media atau ditambahkan kutipan resmi dari kepolisian atau perangkat nagari, bisa aku bantu juga. Mau dilanjutkan ke arah sana?