Prabowo Tolak Eksekusi Mati: Yusril Beberkan Alasan Kemanusiaan dan Kehati-hatian Presiden
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra
D'On, Jakarta – Dalam pernyataan yang sarat makna dan bernuansa kemanusiaan, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkap sikap tegas Presiden Prabowo Subianto terkait hukuman mati. Presiden ke-8 Republik Indonesia itu, menurut Yusril, menolak untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap narapidana, tanpa terkecuali apa pun jenis kejahatannya.
Pernyataan ini menjadi titik balik penting dalam perdebatan panjang soal penerapan hukuman mati di Indonesia, terutama ketika diskursus publik belakangan ini kembali menghangat menyusul wacana eksekusi terhadap koruptor kelas kakap.
“Presiden Prabowo tidak ingin ada satu pun narapidana yang dieksekusi hukuman mati,” ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/4/2025). “Ini bukan hanya soal koruptor. Sikap ini berlaku terhadap semua narapidana dari semua jenis perkara. Karena sekali seseorang dieksekusi mati, tidak ada cara untuk mengembalikannya—meskipun di kemudian hari terbukti ia tak bersalah.”
Keyakinan Prabowo: Keadilan Harus Mengedepankan Kemanusiaan
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa keputusan Presiden bukan didasarkan pada pertimbangan hukum semata, melainkan muncul dari pandangan sebagai seorang negarawan. “Beliau berbicara bukan sebagai hakim yang menafsirkan pasal-pasal hukum, tapi sebagai pemimpin bangsa seorang bapak bangsa yang lebih mengedepankan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya.
Presiden Prabowo, menurut Yusril, masih memegang keyakinan bahwa kemungkinan kesalahan dalam putusan pengadilan, sekecil apa pun, tetap ada. “Bahkan ketika seorang terdakwa dinyatakan 99,9 persen bersalah, Presiden masih melihat ada 0,1 persen peluang bahwa ia tidak bersalah. Dan 0,1 persen itulah yang menjadi pertimbangan besar bagi beliau untuk tidak serta-merta menghilangkan nyawa seseorang.”
Kontroversi Hukuman Mati dan UU Tipikor
Pernyataan Prabowo soal penolakannya terhadap hukuman mati bagi koruptor sempat mengundang perdebatan publik. Namun, Yusril menegaskan bahwa sikap itu sepenuhnya sah dan berlandaskan hukum positif yang berlaku. “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang memungkinkan hukuman mati, tapi hanya dalam situasi ekstrem seperti kondisi perang, krisis ekonomi, atau bencana nasional,” jelas Yusril. “Sampai hari ini, belum ada satu pun terpidana korupsi yang divonis mati oleh pengadilan.”
Transisi KUHP dan Masa Depan Hukuman Mati
Sikap kehati-hatian pemerintah, menurut Yusril, juga mencerminkan kesadaran akan perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana nasional. Indonesia tengah berada dalam masa transisi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama warisan kolonial Belanda menuju KUHP Nasional yang mulai berlaku pada tahun 2026.
“Dalam KUHP baru, pelaksanaan hukuman mati tidak bisa langsung dilakukan. Ada masa evaluasi selama sepuluh tahun untuk melihat apakah narapidana menunjukkan perubahan perilaku atau tidak,” katanya.
Ini menjadi peluang hukum baru bagi para terpidana mati. Jika selama masa evaluasi narapidana menunjukkan penyesalan dan perbaikan diri, hukuman bisa dikonversi menjadi penjara seumur hidup. Yusril menegaskan, prinsip ini didasarkan pada asas hukum yang menyatakan bahwa jika terjadi perubahan aturan, maka ketentuan yang paling menguntungkan terdakwalah yang harus diberlakukan.
Isu Standar Ganda: WNA dan WNI dalam Kasus Hukuman Mati
Salah satu isu sensitif yang turut dijawab Yusril adalah tudingan soal adanya standar ganda antara narapidana Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Menurutnya, tudingan tersebut tidak berdasar.
“WNA yang dijatuhi hukuman mati biasanya dikembalikan ke negaranya untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh pemerintah mereka. Sedangkan terhadap WNI, sampai saat ini belum ada yang dieksekusi,” tegas Yusril.
Menuju Reformasi Hukum yang Lebih Berkeadilan
Yusril juga mengisyaratkan bahwa pemerintah tengah merancang RUU Pelaksanaan Hukuman Mati, yang diharapkan bisa memberikan kepastian hukum dalam era baru KUHP Nasional. RUU ini akan mengatur bagaimana status narapidana mati yang sebelumnya divonis berdasarkan KUHP lama akan diperlakukan ke depan.
“Ini adalah bagian dari tanggung jawab konstitusional pemerintah dalam memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,” pungkasnya.
Penutup: Saat Negara Menimbang Nyawa Manusia
Sikap Presiden Prabowo Subianto yang mengedepankan pertimbangan kemanusiaan dalam isu hukuman mati menandai babak baru dalam wajah hukum Indonesia. Di tengah kerasnya hukum pidana, muncul ruang kontemplasi: bahwa nyawa manusia bukan sekadar angka dalam statistik kriminal, tetapi entitas yang tak bisa dikembalikan jika keputusan salah telah dibuat.
Dengan pendekatan ini, Prabowo menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi bukan terletak pada tangan yang menghukum, melainkan pada hati yang mampu memberi pengampunan.
(Mond)
#Hukum #HukumanMati #Nasional #YusrilIhzaMahendra #PrabowoSubianto