Profesor Unnes Unggah Ijazah S1 UGM, Soroti Perbedaan Mencolok dengan Milik Jokowi
Ijazah Saratri Wilonoyudho. instagram/saratri_wilonoyudho
D'On, Semarang - Di tengah hangatnya kembali perbincangan publik tentang keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, sebuah unggahan dari seorang akademisi senior mendadak menyita perhatian. Profesor Saratri Wilonoyudho, Guru Besar dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), tiba-tiba mengunggah foto ijazah sarjananya di media sosial. Yang menarik, ijazah tersebut berasal dari institusi yang sama dengan tempat Jokowi menempuh pendidikan: Universitas Gadjah Mada (UGM).
Melalui akun Instagram pribadinya, @saratri_wilonoyudho, Prof Saratri membagikan sebuah foto yang menunjukkan ijazah Sarjana Teknik miliknya yang diterbitkan pada tahun 1986. Dengan keterangan singkat, “Ijazah Universitas Gadjah Mada tahun 1986,” unggahan ini dengan cepat memantik respons publik. Bukan karena apa yang diunggah, melainkan karena waktu dan konteksnya yang begitu relevan: di tengah kontroversi seputar keaslian ijazah S1 Presiden Jokowi yang lulus hanya setahun lebih awal, yakni pada 1985.
Namun, Saratri menegaskan bahwa unggahannya bukanlah bentuk sindiran atau upaya menggiring opini. “Saya hanya ingin memberikan gambaran kepada masyarakat, seperti apa wujud ijazah UGM di masa saya lulus,” ujarnya dalam kutipan yang dilansir dari Tirto pada Selasa (15/4/2025).
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa publik langsung membandingkan unggahan tersebut dengan salinan ijazah Jokowi yang beredar luas di media sosial. Terlebih, Saratri secara terbuka mengakui adanya beberapa perbedaan mencolok antara keduanya, meskipun dirinya tidak mengklaim memiliki kapasitas untuk menilai keaslian dokumen milik orang lain.
“Saya tidak punya wewenang atau kapabilitas untuk menyatakan sebuah ijazah asli atau tidak. Tapi dari apa yang saya lihat di media sosial, memang ada beberapa hal yang tampak berbeda,” katanya.
Soroti Tiga Perbedaan Mendasar
Menurut Saratri, terdapat setidaknya tiga perbedaan utama antara ijazahnya dan salinan ijazah Jokowi yang banyak beredar. Pertama, jenis font yang digunakan. Ijazah milik Saratri masih menggunakan gaya penulisan lama, dengan huruf-huruf khas mesin ketik dan cetakan analog. Sementara pada salinan ijazah Jokowi, font yang dipakai justru terlihat lebih modern, bahkan menurutnya mirip dengan Times New Roman yang mulai populer di era komputerisasi.
Kedua, terkait keberadaan materai. “Ijazah saya tidak ada materainya. Padahal itu bukan hal lazim di masa saya. Setahu saya, materai tidak digunakan dalam ijazah resmi UGM saat itu,” ucap Saratri.
Ketiga, adalah soal foto yang tercantum dalam dokumen. Dalam pengalamannya, UGM memiliki aturan tegas bahwa mahasiswa tidak diperkenankan mengenakan kacamata dalam foto ijazah. Namun pada salinan yang disebut milik Jokowi, terlihat bahwa tokoh tersebut mengenakan kacamata.
“Dulu jelas disebutkan, tidak boleh pakai kacamata. Jadi ini juga membuat saya bertanya-tanya, apakah memang ada kebijakan khusus dari fakultas atau bagaimana,” tambahnya.
Meski lulus hanya berselisih satu tahun, menurut Saratri seharusnya format ijazah tidak berubah drastis. “Kalau hanya terpaut setahun, biasanya formatnya masih sama. Tahun 80-an itu desain ijazah ya begitu-begitu saja, tidak berubah signifikan,” jelasnya.
Unggahan Edukatif dengan Keyakinan Penuh
Lebih dari sekadar membandingkan, unggahan Saratri tampak sebagai bentuk refleksi integritas pribadi dalam meniti pendidikan. Ia menyampaikan bahwa unggahan tersebut murni untuk tujuan edukatif, sebagai bentuk transparansi kepada publik, serta untuk memberi gambaran tentang sistem pendidikan tinggi masa lampau.
“Saya tidak pernah menyontek, tidak pernah plagiat. Jadi saya punya sedikit keberanian untuk mengatakan bahwa ijazah saya murni, asli, dan halal,” ungkapnya, tak segan mengungkapkan keyakinan akan kejujuran dirinya dalam proses pendidikan.
Saratri bukan sosok sembarangan dalam dunia akademik. Ia dikenal sebagai anggota aktif Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah dan punya rekam jejak dalam membongkar dugaan plagiat yang melibatkan pejabat kampus, termasuk mantan Rektor Unnes, Fathur Rokhman.
Kini, unggahannya membuka ruang diskusi baru, bukan hanya soal keaslian dokumen seorang presiden, tetapi juga tentang pentingnya menjaga integritas akademik dan transparansi dalam dunia pendidikan. Di tengah pusaran opini publik, suara Prof Saratri menjadi pengingat bahwa kejujuran dan keteladanan akademik adalah fondasi yang tak bisa ditawar sekalipun hanya lewat selembar ijazah.
(Mond)
#IjazahJokowi #Nasional #UGM #Unnes