Raih Doktor di Jepang, EM Guru Besar Farmasi UGM Resmi Dipecat karena Skandal Pelecehan Mahasiswi, Korban dari S1 Hingga S3
Fakultas Farmasi UGM
D'On, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu kampus paling bergengsi di Indonesia, diguncang skandal serius: seorang guru besar Fakultas Farmasi berinisial EM resmi dipecat karena terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswinya. Kasus ini bukan hanya mengungkap wajah kelam di balik dinding akademik, tetapi juga menjadi cermin urgensi perlindungan ruang aman bagi perempuan di institusi pendidikan tinggi.
Bermula dari Diskusi Akademik, Berujung Derita Psikis
Tindakan keji ini terjadi bukan dalam hitungan hari atau minggu, tetapi berlangsung selama dua tahun sejak 2023 hingga 2024. Yang mencengangkan, korban berasal dari berbagai jenjang: mahasiswa S1, S2, hingga S3. EM diduga memanfaatkan posisi dan pengaruhnya sebagai dosen pembimbing, penguji, bahkan mentor kegiatan lomba untuk mendekati para korban secara pribadi.
Modusnya terkesan “akademis”: undangan diskusi, bimbingan skripsi, dan pertemuan membahas kompetisi. Namun, kenyataannya justru sebaliknya—pertemuan-pertemuan itu sebagian besar dilakukan di luar kampus, dan menjadi ruang bebas bagi EM menjalankan aksinya. Benteng intelektual justru runtuh oleh tangan pendidiknya sendiri.
Proses Hukum Internal yang Tegas, Namun Tidak Serta-Merta
Laporan kasus ini pertama kali diterima oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM pada tahun 2024. Menyadari keseriusan laporan, UGM langsung membentuk Komite Pemeriksa berdasarkan Keputusan Rektor UGM Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Komite ini bekerja intensif hingga akhir Oktober 2024, mengumpulkan keterangan dari 13 korban dan saksi, serta memeriksa bukti-bukti yang memperkuat tuduhan.
Tak butuh waktu lama untuk menyimpulkan: EM terbukti melakukan kekerasan seksual. Ia melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m dalam Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023, serta terbukti menyalahi kode etik dosen.
UGM kemudian menjatuhkan sanksi terberat yang dimungkinkan dalam peraturan kepegawaian: pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025.
Tersingkir dari Singgasana Ilmiah: Jabatan-Jabatan Strategis Dicabut
EM bukan sekadar dosen biasa. Ia adalah salah satu figur sentral di Fakultas Farmasi UGM. Lulusan S1 dan S2 UGM ini juga meraih gelar doktor dari Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Jepang—bidang Molecular Oncology. Ia sempat menjabat sebagai Wakil Dekan dan memimpin dua lembaga penting: Laboratorium Biokimia Pascasarjana dan Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC).
Namun, semua gelar dan jabatan itu tak berarti di hadapan kesalahan fatal yang diperbuatnya. Sejak pertengahan 2024, EM telah dibebastugaskan dari seluruh aktivitas akademik dan jabatan struktural. Keputusan pencopotan sebagai Kepala CCRC bahkan diambil jauh sebelum proses pemeriksaan tuntas—demi menciptakan ruang aman bagi korban dan sivitas akademika lainnya.
Sanksi Final, Tapi Status Guru Besar Masih Menggantung
Meskipun telah diberhentikan sebagai dosen UGM, status EM sebagai Guru Besar masih menunggu keputusan dari kementerian terkait. Hal ini karena pengangkatan dan pencabutan jabatan Guru Besar merupakan kewenangan penuh dari pemerintah pusat.
“Kalau kemudian guru besarnya (dicabut), mau tidak mau, keputusannya harus dikeluarkan oleh kementerian. Tidak ada kewenangan itu ke UGM,” tegas Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi.
Sementara itu, UGM mengaku sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta dua kementerian lainnya yang terkait dengan status kepegawaian EM sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pendampingan Psikologis Masih Terus Berjalan
Tak berhenti sampai pada sanksi administratif, UGM juga memastikan pendampingan terus diberikan kepada para korban. Satgas PPKS melakukan evaluasi psikologis secara berkala, menyesuaikan kebutuhan masing-masing korban.
“Pendampingan masih terus dilakukan. Kami melihat case per case, dan saat kondisi psikologis korban sudah membaik, baru kami menyatakan selesai,” jelas Andi.
Peringatan Keras untuk Dunia Akademik
Skandal ini menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Sosok intelektual dengan gelar mentereng dan rekam jejak akademik mengilap justru mencoreng institusi dengan tindakan predatoris. Kasus EM adalah peringatan keras: kampus tidak kebal terhadap kekuasaan yang disalahgunakan, dan penyalahgunaan itu bisa hadir dengan wajah ramah dalam ruang diskusi ilmiah.
Namun, yang terpenting, kasus ini juga menjadi bukti bahwa perubahan sedang terjadi. Bahwa suara korban kini mulai didengar. Bahwa lembaga sekelas UGM bisa mengambil tindakan tegas, meskipun terhadap figur sepenting seorang guru besar.
Satu langkah penting telah diambil. Tapi perjuangan menciptakan kampus yang benar-benar aman—bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk bermimpi—masih panjang.
(Mond)
#PelecehanSeksual #UGM