Santri 13 Tahun Diduga Jadi Korban Bullying dan Dibakar Hidup-Hidup oleh Temannya
Santri alami luka bakar (foto: dok ist)
D'On, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara – Hari yang seharusnya diwarnai lantunan doa dan ketenangan di lingkungan Pondok Pesantren Al Islam Meeto, Desa Mattirobulu, Kecamatan Tiwu, berubah menjadi mimpi buruk bagi seorang santri muda berinisial AMRM (13). Bocah ini kini terbaring lemah di ruang perawatan intensif RSUD Djafar Harun Kolaka Utara, dengan luka bakar serius yang menghanguskan hampir sepertiga tubuhnya.
Peristiwa tragis ini diduga bukan sekadar kecelakaan. AMRM, yang masih duduk di usia belia, disebut-sebut menjadi korban perundungan oleh dua orang seniornya sendiri H (12) dan AM (14) yang kini telah diamankan pihak kepolisian. Sumber dari keluarga korban menyebut bahwa kejadian ini bukan kali pertama sang anak mendapat perlakuan tidak menyenangkan selama mondok.
Kondisi Luka Sangat Serius
Dr. Andi Widiarsah, Spesialis Bedah RSUD Djafar Harun, mengonfirmasi bahwa AMRM mengalami luka bakar derajat 2A hingga 2B, meliputi sekitar 27% permukaan tubuhnya. Luka melepuh menyebar mulai dari leher bagian belakang hingga pinggang, termasuk kedua tangan, perut, dan pangkal paha.
“Kondisi pasien saat ini stabil, namun risiko infeksi sangat tinggi. Kami sedang menyiapkan ruang isolasi khusus untuk meminimalkan kemungkinan kontaminasi kuman dari luar,” ujar dr. Andi saat ditemui pada Sabtu (12/4/2025).
Pihak rumah sakit juga tengah berkoordinasi dengan ahli gizi untuk memastikan nutrisi pasien terpenuhi selama masa penyembuhan. Pemberian antibiotik, vitamin, serta pemantauan ketat dilakukan secara intensif demi mempercepat proses pemulihan.
Pondok Pesantren Membantah Ada Bullying
Di sisi lain, pihak Pondok Pesantren Al Islam Meeto menolak anggapan bahwa peristiwa ini terjadi akibat aksi bullying. Kepala pondok, Syamsuddin Ribi, menegaskan bahwa antara korban dan pelaku adalah teman bermain, dan menyebut kejadian ini sebagai kecelakaan yang tidak disengaja.
“Tidak ada unsur bullying. Mereka bermain bersama di belakang pondok, dekat sungai, membawa gunting dan pertalite. Berdasarkan informasi yang kami dapat, mereka saling mencukur rambut,” ujar Syamsuddin.
Ia juga menambahkan bahwa pertalite yang dibawa digunakan untuk membakar ranting. Namun, dalam proses bermain, diduga terjadi percikan yang mengenai tubuh korban hingga menyebabkan api menyambar dengan cepat.
Keterangan pihak ponpes ini sedikit berbeda dengan yang disampaikan keluarga korban. Mereka menyebut korban justru menyelamatkan diri dengan mencebur ke sungai setelah tubuhnya terbakar, bukan hanya digulingkan di tanah seperti yang disampaikan pihak pondok.
Polisi: Dua Pelaku Diamankan
Kapolres Kolaka Utara, AKBP Ritman Todoan Agung Gultom, membenarkan bahwa dua pelaku yang terlibat telah diamankan dan tengah menjalani pemeriksaan.
“Keterangan awal menyebut bahwa api yang menyambar korban tidak sengaja dilemparkan ke arah tubuhnya. Namun, kami masih mendalami motif dan kronologi lebih lanjut,” ujarnya singkat.
Hingga kini, motif pasti dari tindakan dua pelaku tersebut masih menjadi misteri. Apakah ini benar-benar kecelakaan seperti klaim pihak ponpes? Ataukah tersembunyi cerita kelam tentang perundungan yang selama ini tak terdengar?
Titik Pencarian Keadilan
Kejadian ini membuka kembali pertanyaan lama yang belum pernah benar-benar dijawab: seberapa amankah lingkungan pesantren bagi anak-anak yang dititipkan untuk belajar agama dan akhlak? Apakah cukup pengawasan di balik tembok pondok yang kerap dianggap sakral dan tertutup?
Kisah tragis AMRM kini menjadi cermin gelap yang mengingatkan bahwa siapa pun, bahkan di tempat seharusnya paling suci, bisa menjadi korban kekerasan. Semoga penyelidikan yang berlangsung mampu mengungkap kebenaran dan memberi keadilan pada anak 13 tahun yang kini berjuang antara hidup dan mati.
(*)
#Bullying #SantriDibakarTeman #Peristiwa