Tiga Hakim Jadi Tersangka Suap Putusan Lepas Korupsi CPO: Sorotan Tajam terhadap Integritas Peradilan
D'On, Jakarta – Dunia hukum Indonesia kembali diguncang. Kali ini, badai datang dari jantung lembaga peradilan itu sendiri. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi terkait putusan lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) terhadap perusahaan-perusahaan raksasa dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Ketiga hakim yang kini menyandang status tersangka itu adalah Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM). Ketiganya diketahui duduk sebagai majelis hakim dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan lepas kepada sejumlah korporasi besar.
Putusan Lepas yang Mengundang Tanda Tanya
Pada 19 April 2022, majelis hakim yang diketuai oleh Djuyamto dan dibantu dua hakim anggota, Agam dan Ali, memutus lepas tiga korporasi besar PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Mereka dianggap terbukti secara sah melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider dari jaksa penuntut umum. Namun, secara mengejutkan, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Putusan ontslag pun dijatuhkan.
Tak hanya itu, hakim juga memerintahkan pemulihan seluruh hak hukum para terdakwa, termasuk harkat dan martabat mereka, seolah-olah tak pernah terseret dalam perkara korupsi yang menyedot perhatian publik ini.
Benang Merah Uang dan Kekuasaan
Dugaan adanya kejanggalan dalam putusan tersebut akhirnya bermuara pada penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Dalam keterangan resminya pada Senin dini hari (14/4), Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkap bahwa dari hasil pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi, penyidik menemukan cukup bukti untuk menetapkan ketiganya sebagai tersangka.
Menurut Qohar, suap bernilai miliaran rupiah mengalir secara sistematis kepada ketiga hakim melalui Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Uang itu berasal dari Ariyanto (AR), seorang advokat yang menjadi kuasa hukum bagi pihak korporasi yang tengah menghadapi perkara.
"Ketiga hakim tersebut mengetahui dengan jelas bahwa uang yang mereka terima bertujuan agar perkara diputus lepas atau ontslag. Ini bukan hanya bentuk penyimpangan, tapi pengkhianatan terhadap keadilan," ujar Qohar dengan nada tegas.
Runtuhnya Benteng Terakhir Keadilan
Kini, ketiga hakim telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung untuk 20 hari ke depan. Penetapan mereka sebagai tersangka menambah daftar panjang aktor-aktor hukum yang terlibat dalam skandal ini. Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat tersangka lain: Wahyu Gunawan (panitera muda perdata PN Jakarta Utara), Muhammad Arif Nuryanta (mantan Ketua PN Jakarta Selatan), serta dua advokat, Ariyanto dan MS.
Dengan begitu, total tersangka dalam pusaran korupsi peradilan ini berjumlah tujuh orang. Satu per satu, mereka yang seharusnya menjadi penjaga pilar keadilan justru diduga menjualnya demi uang dan kepentingan.
Preseden Buruk dan Isyarat Krisis
Kasus ini menjadi pukulan telak terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Putusan yang awalnya menimbulkan kontroversi kini terbukti memiliki motif tersembunyi yang dibayar dengan lembaran rupiah. Ironisnya, aktor-aktor utama dalam tragedi hukum ini bukanlah mafia luar sistem, melainkan para pemilik palu sidang itu sendiri.
Saat publik berharap pengadilan menjadi tempat mencari keadilan, justru di sanalah dugaan persekongkolan dan korupsi terjadi.
Pertanyaannya kini, sampai sejauh mana akar dari praktik jual-beli keadilan ini tumbuh? Apakah ini hanya puncak dari gunung es?
Kejaksaan Agung tampaknya baru membuka lembar pertama dari kisah panjang yang menelanjangi wajah buram peradilan Indonesia. Dan publik berhak menuntut: jangan ada lagi keadilan yang diperjualbelikan di meja hijau.
(Mond)
#Kejagung #SuapKasusCPO #PNjaksel #SuapPNJaksel