Tirai Terbuka: Dosen Farmasi UGM Dipecat Usai Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
D'On, Yogyakarta – Sebuah langkah tegas dan langka diambil Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah seorang dosen dari Fakultas Farmasi terbukti melakukan kekerasan seksual. Dosen yang sebelumnya menduduki jabatan strategis sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) itu kini resmi diberhentikan secara permanen dari semua aktivitas akademik dan jabatannya, dalam keputusan yang mengejutkan namun dipandang sebagai tonggak penting dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kasus Terkuak: Dari Laporan Senyap ke Tindakan Tegas
Aroma kasus ini pertama kali merebak pada Juli 2024, saat seorang korban memberanikan diri melaporkan kejadian kelam yang dialaminya kepada pihak fakultas. Tanpa menunggu waktu lama, Fakultas Farmasi segera merespons laporan itu dengan berkoordinasi bersama Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM, unit khusus yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus sensitif seperti ini.
“Begitu laporan masuk, pihak fakultas langsung berkoordinasi dan melaporkannya ke Satgas PPKS. Satgas segera melakukan pendampingan terhadap korban dan memulai proses investigasi secara menyeluruh,” ungkap Sekretaris UGM, Andi Sandi.
Tindakan cepat diambil: dosen pelaku langsung dibebastugaskan dari semua kegiatan akademik dan dicopot dari jabatannya di CCRC, bahkan sebelum proses pemeriksaan internal selesai. Langkah ini ditetapkan melalui keputusan dekan Fakultas Farmasi tertanggal 12 Juli 2024, menandai fase awal dari upaya perlindungan terhadap korban dan menjaga integritas lingkungan kampus.
Pemeriksaan Menyeluruh: Fakta Dibongkar Satu per Satu
Dalam proses investigasi lanjutan, UGM membentuk komite pemeriksa khusus berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Komite ini bekerja selama tiga bulan, mulai 1 Agustus hingga 31 Oktober 2024, dengan mandat penuh: mendalami kronologi kejadian, memeriksa korban secara terpisah, mengumpulkan kesaksian dari para saksi, hingga mengkaji bukti-bukti yang diserahkan.
Hasil pemeriksaan tak terbantahkan: sang dosen terbukti melakukan kekerasan seksual yang melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m dalam Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023. Tak hanya melanggar peraturan internal, ia juga dianggap menyalahi kode etik dosen yang selama ini dijunjung tinggi oleh universitas.
Menindaklanjuti temuan tersebut, Rektor UGM menetapkan Keputusan Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 pada 20 Januari 2025 yang menyatakan pemberhentian tetap terhadap dosen tersebut. Keputusan ini menegaskan bahwa tidak ada ruang toleransi bagi pelaku kekerasan seksual di lingkungan UGM.
“Seluruh proses penanganan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, demi memberikan ruang aman dan keadilan, baik bagi korban maupun seluruh sivitas akademika,” lanjut Andi.
Komitmen Kampus: Dari Kebijakan hingga Aksi Nyata
Langkah ini bukanlah kebijakan sesaat. UGM telah menanamkan komitmen terhadap pemberantasan kekerasan seksual sejak 2016 melalui berbagai kebijakan dan inisiatif nyata. Salah satu tonggak penting adalah pembentukan Satgas PPKS pada 3 September 2022, sebuah unit yang kini terbukti mampu bertindak cepat dan tegas.
Tak hanya itu, program Health Promoting University (HPU) dan Kelompok Kerja Zero Tolerance menjadi bagian dari ekosistem kampus yang mengedepankan budaya aman dan sehat secara mental, emosional, dan fisik. UGM juga terus mengembangkan sistem pendampingan korban, mencakup layanan pemulihan psikologis, perlindungan hukum, hingga pemberdayaan pascakejadian.
“UGM terus berupaya memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan kepada para korban sesuai kebutuhan mereka,” pungkas Andi.
Saatnya Kampus Jadi Ruang Aman, Bukan Ancaman
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja bahkan di institusi pendidikan ternama. Namun, respons UGM juga menjadi bukti bahwa ketika sistem berjalan, ketika suara korban didengar, dan ketika keberanian bertemu keberpihakan, keadilan bisa ditegakkan.
Kini, satu babak gelap telah ditutup. Tapi perjuangan menciptakan kampus yang benar-benar aman masih panjang. Dan seperti kata banyak aktivis, "tidak cukup hanya dengan kebijakan — kita butuh keberanian, empati, dan aksi nyata."
(Mond)
#UGM #KekerasanSeksual